Mahasiswa
kupu-kupu. Mahasiswa kuliah-pulang kuliah-pulang. Entah sampai kapan gelar ini
akan menemani setiap langkahku di setiap jalan kampus. Sama sekali belum
terpikirkan olehku untuk menyudahi aktifitasku yang hanya itu-itu saja.
Bukankah mahasiswa adalah agen atas perubahan. Tapi bagaimana bisa merubah
dunia kalau aku hanya belajar di dalam kelas. Lamunan ini terus menggangguku di
sepanjang jalan menuju halaman parkir.
“Amanda”
dalam lamunanku aku bisa mendengar seseorang memanggil namaku. Tidak,aku tidak
merasa dipanggil karena ada lebih dari sepuluh orang bernama Amanda di
kampusku. Tidak sampai akhirnya bahuku dikejutkan dengan sebuah tepukan tangan
yang padat.
“Kemal.
Kenapa?” sedikit kaku lidahku mengucapkan nama itu. Terlebih di depan
pemiliknya langsung. Seseorang yang kuduga aku menyukainya. Bintang lapangan
yang begitu sulit kugapai. Bahkan kesempatan berbicara dengannya pun tak pernah
ada.
“Boleh
aku pinjam catatan Kalkulus tadi pagi? Aku tadi terlambat” ucapnya dengan wajah
yang tulus walaupun tidak sedang tersenyum. Setiap detik dengan sempurna mataku
merekam setiap geraknya. Dan aku akan memperlambat setiap gerakannya untuk
menikmatinya dalam ingatanku.
“sebentar,ini”
aku mengusahakan senyum maksimalku ketika memberikan bukuku padanya. Tidak begitu
buruk karena kulihat Kemal juga menampakkan senyum indahnya. Pemandangan ini
pun berakhir ketika Kemal berterimakasih padaku sambil melayangkan tangannya
dan berlalu.
Bayangan
Kemal masih memenuhi pikiranku sepanjang jalan pulang. Aku sibuk memikirkan
alasan Kemal memilih untuk meminjam catatan milikku. Berbagai dugaan indahku
menyeruak begitu saja. Tapi perlahan aku tersadar kembali bahwa aku hanyalah
mahasiswa polos yang hanya mengenal kelas dan buku. Alasan Kemal memilihku
tentu saja karena akulah mahasiswa yang pasti maksimal di kelas. Ah sudahlah.
Jarak
kampus ke rumahku tidaklah sedikit. Lamunan indah tadi pun berakhir di tengah
jalan. Akupun mulai kembali konsentrasi penuh pada jalan raya yang mulai padat
ini. Tiba-tiba segerombol motor dari arah belakang yang terus saling berlomba
memainkan klaksonnya mengganggu konsentrasiku. Sambil melihat dari spion
motorku, aku menepi ke sisi kiri jalan. Satu-satu dari mereka mulai melewatiku.
Aku melirik dengan waswas ketika motor yang terakhir tepat melewatiku. Sebuah
kebetulan yang buruk karena pemilik motor itu tidak lain adalah Arial. Bang
Arial begitu aku biasa memanggilnya. Mahasiswa semester atas yang konon
terkenal sebagai mahasiswa tergalak tahun ini. Daripada gelar itu, sebenarnya
aku lebih setuju Bang Arial itu disebut sebagai mahasiswa brandalan. Selalu ada
di tiap keributan kampus. Banyak yang menentangnya dan banyak juga yang selalu
mencari cara untuk menjebaknya. Namun sia saja, Bang Arial bukan jenis brandalan
yang bodoh. Tentu tak bisa dipungkiri kalau ternyata Bang Arial adalah
mahasiswa cerdas yang begitu banyak dosen memujinya. Dan sifat brandalannya itu
bisa terbayar lunas oleh kecerdasannya yang selalu mengharumkan nama kampus.
“ah mereka selalu begitu” Begitulah setiap aku
pulang sore. Tidak ada seharipun aku menghabiskan jalan ini tanpa keributan
motor Bang Arial dan teman-temannya itu. Akhirnya sisa jalan ini aku habiskan
untuk menyesalinya.Ya, aku tau persis bagaimana sifat bang Arial di luar kampus
bahkan di rumahnya. Rumahnya hanya berjarak 2 rumah dengan rumahku.
Aku
memperlambat laju motorku ketika tidak sengaja mendapati sosok Kemal di depan
rumah Nadia,teman dekatku yang kuliah kedokteran di Bandung. Nadia baru saja
keluar rumah saat aku mau menyapanya. Namun tertunda saat kudengar Kemal
memanggilnya lebih dulu. Tapi aku memutuskan untuk tidak jadi menyapanya
setelah tersaadar kemal memanggilnya dengan sapaan ‘sayang’. Aku kecewa dengan
sempurna. Kuputuskan untuk mempercepat kembali laju motorku. Melakukan adegan
patah hati yang dramatis.
“Aku
memang tidak bakat dalam urusan beginian” kataku merutuki diri saat sampai di
depan rumah. Setengah sadar kugerakkan kepalaku menoleh sebentar ke rumah Bang
Arial. Aku masih ingat saat ospek dulu tiba-tiba Bang Arial memukul Dimas,temanku
yang waktu itu berbaris tepat di belakangku. Kebetulan Bang Arial termasuk
panitia ospek di tahun awalku jadi mahasiswa di kampus. Aku yang masih polos
itu terang saja menangis saat melihatnya, walaupun hanya tersedu. Yang masih
tidak kumengerti adalah waktu itu aku mendengarnya berbisik ‘maaf’ ke arahku.
“Amanda,
kamu ngapain disitu terus” ternyata mama sudah pulang dari kantor. Ya, orang
tua tunggal yang bekerja keras setiap hari demi anak tunggalnya.
“Ma,
kenapa aku selalu gagal jatuh cinta” tanyaku polos di dalam pelukannya.
Berapapun usiaku, aku tetaplah seorang gadis kecil di depan mama. Mama tau
betul aku orang yang tertutup dan hanya dialah yang menyaksikan setiap rinci
ceritaku.
“kamu
tidak gagal,sayang. Kamu cuma diuji sebelum cinta yang memilihmu itu datang”
katanya sambil membelai rambut panjangku berulang kali. Aku selalu membenarkan
semua yang ia katakan. Terlepas dari kenyataan bahwa ia memang orang tuaku, ia
berkata apapun juga pasti karena ia pernah mengalaminya.
Ketika
bintang malam datang, aku selalu memilih belajar di taman rumah. Di atas meja
dan kursi taman ini aku melukiskan semua cita-citaku. Mengalir dalam tinta
penaku yang menjawab semua butir soal pertanyaan dengan jawaban sempurna.
Hari
baru dengan rasa baru. Bagiku begitu mudah menyembuhkan luka patah hati
kemarin. Kemal mengembalikan buku catatanku dengan wajah seperti bagaimana
biasanya dirinya. Yang berbeda hanyalah aku. Aku tak lagi berdesir melihatnya
walaupun aku masih terpukau dengannya ketika ia berlari di lapangan dan
menggiring bolanya.
“Manda”
Aku menelan ludah mendapati Bang Arial menghampiriku saat aku keluar dari kelas
Kalkulus. Samar kulihat bagian telinga kanannya agak lebam dengan sedikit darah
di ujung bibir kiri. Jelaslah aku tak perlu tanya. Bang Arial habis
berkelahi.Lagi.
“Ada
apa bang?” tanyaku kaku. Bang Arial selalu menghindariku di kampus. Atau
mungkin aku yang tidak sadar menjauhinya selama di kampus. Entahlah.
“Kamu
harus pulang denganku. Nggak perlu tanya kenapa” dengan satu gerakan, dia
membimbingku berjalan tepat di depannya. Ekor mataku bisa menangkap gerakannya
mengawasi sekitar. Firasat buruk menguasai pikiranku.
“Aku
mau pulang sendiri” kataku setengah berteriak saat kami sampai di halaman
parkir. Beberapa temanku mulai memasang mata ke arah kami. Mungkin beberapa
heran bagaimana bisa Bang Arial bisa dibentak oleh mahasiswa tulen yang sama
sekali tak punya tampang brandalan sepertiku. Biarlah.
“oke,oke”
dia pergi.
Akhirnya
tinggal aku. Sedikit merasa aneh tapi sebisa mungkin kubuat santai. Selepas
dari kampus, perjalanan pulangku baik-baik saja sampai di tengah jalan dan aku
yakin tidak ada yang perlu dicemaskan. Sedikit merasa kehilangan karena sudah
sampai di lampu merah terakhir, tapi Bang Arial dan teman-temannya tidak juga
kelihatan di jalan ini. Sambil menunggu lampu merah menjadi hijau, tiba-tiba aku
mendengar segerombol motor dari arah belakang. Karena kukira itu adalah Bang
Arial, aku memberanikan diri menoleh ke belakang. Tapi ternyata bukan. Orang
yang berada di paling depan adalah Arman, orang yang pernah terlibat
perkelahian hebat dengan Bang Arial. Arman tidak menyadari keberadaanku. Aku
kembali melihat ke depan. Sedikit melihat ke spion, seseorang di belakangnya
membisikkan sesuatu kepadanya dan aku mulai takut.
Lampu
hijau. Aku mempercepat jalannya motorku. Namun mereka membuntutiku. Sebelumnya
aku tak pernah merasa terancam seperti ini. Tapi sudahlah. Aku hanya ingin
cepat sampai rumah.
Sesampaiku
di depan rumah. Aku segera membuka gerbang depan rumah tapi ternyata mereka
datang dan kini sudah tepat di depanku sebelum aku berhasil membuka kunci
gerbang.
“kau
Amanda kan?” Arman memberiku pertanyaan yang sungguh tidak perlu kujawab.
“Dimana rumah Arial?” pertanyaan yang langsung ke inti. Tanpa basa-basi. Aku
jelas tak mau menjawabnya. Bagaimanapun Arman dan Arial adalah brandal kampus
yang sama kuat. Arman pasti berniat tidak baik padanya.
“Maaf
kak. Aku tidak tau” jawabku sambil kembali berusaha membuka kunci gerbang.
“Dimana
rumah Arial?” setengah berteriak, Arman berteriak di telingaku.
Tiba-tiba
Bang Arial dan teman-temannya datang. Entah mereka muncul dari mana,
kecemasanku sudah menguasai akal sehatku. Bang Arial menyuruhku masuk ke dalam
rumah dan aku menurut. Dari dalam rumah aku menyaksikan lagi perkelahian besar
kedua Bang Arial dengan Arman. Mataku tak pernah lepas dari sosok Bang Arial.
Dadaku merasakan perihnya ketika pukulan Arman mendarat di mulut Bang Arial.
Teringat akan bekas lukanya tadi sore. Sekarang justru kena hantam lagi. Pasti
sakit sekali. Aku menangis sejadinya. Kenapa masih ada saja pertengkaran
semacam ini.
“Kak
Arman,hentikan” aku buka pintu rumah dan meneriakinya. Tepat ketika Arman
menoleh ke arahku, Bang Arial menghantam wajahnya. Seketika perkelahian itu
usai, Arman dan teman-temannya pergi.
“maafkan aku kau harus
melihatnya lagi. Apapun yang kulakukan, aku hanya ingin melindungimu. Setelah
mereka tau kau mengenalku,mungkin akan ada yang lebih lagi dari ini. Tapi aku
bakal selalu ada di dekatmu. Aku nggak bakal biarin mereka menyentuh kamu
sedikitpun. Aku sayang kamu,Amanda. Percayalah, kita bakal baik-baik aja” katanya
sambil merengkuhku sangat dalam. Jauh di dalam pelukan dan dalam hatinya. “Mama, cinta datang merengkuhku” bisikku.
^^cerpen yang kukarang selama kurang lebih 2 jam ini akhirnya selesai. Entah ada inspirasi apa tadi. Cuma iseng. Maklum kalo jadinya agak panjang :D *happyReading #ThanksForReading :)