Wednesday, August 21, 2013

cerpen : Cinta yang Memilih



Mahasiswa kupu-kupu. Mahasiswa kuliah-pulang kuliah-pulang. Entah sampai kapan gelar ini akan menemani setiap langkahku di setiap jalan kampus. Sama sekali belum terpikirkan olehku untuk menyudahi aktifitasku yang hanya itu-itu saja. Bukankah mahasiswa adalah agen atas perubahan. Tapi bagaimana bisa merubah dunia kalau aku hanya belajar di dalam kelas. Lamunan ini terus menggangguku di sepanjang jalan menuju halaman parkir.
“Amanda” dalam lamunanku aku bisa mendengar seseorang memanggil namaku. Tidak,aku tidak merasa dipanggil karena ada lebih dari sepuluh orang bernama Amanda di kampusku. Tidak sampai akhirnya bahuku dikejutkan dengan sebuah tepukan tangan yang padat.
“Kemal. Kenapa?” sedikit kaku lidahku mengucapkan nama itu. Terlebih di depan pemiliknya langsung. Seseorang yang kuduga aku menyukainya. Bintang lapangan yang begitu sulit kugapai. Bahkan kesempatan berbicara dengannya pun tak pernah ada.
“Boleh aku pinjam catatan Kalkulus tadi pagi? Aku tadi terlambat” ucapnya dengan wajah yang tulus walaupun tidak sedang tersenyum. Setiap detik dengan sempurna mataku merekam setiap geraknya. Dan aku akan memperlambat setiap gerakannya untuk menikmatinya dalam ingatanku.
“sebentar,ini” aku mengusahakan senyum maksimalku ketika memberikan bukuku padanya. Tidak begitu buruk karena kulihat Kemal juga menampakkan senyum indahnya. Pemandangan ini pun berakhir ketika Kemal berterimakasih padaku sambil melayangkan tangannya dan berlalu.
Bayangan Kemal masih memenuhi pikiranku sepanjang jalan pulang. Aku sibuk memikirkan alasan Kemal memilih untuk meminjam catatan milikku. Berbagai dugaan indahku menyeruak begitu saja. Tapi perlahan aku tersadar kembali bahwa aku hanyalah mahasiswa polos yang hanya mengenal kelas dan buku. Alasan Kemal memilihku tentu saja karena akulah mahasiswa yang pasti maksimal di kelas. Ah sudahlah.
Jarak kampus ke rumahku tidaklah sedikit. Lamunan indah tadi pun berakhir di tengah jalan. Akupun mulai kembali konsentrasi penuh pada jalan raya yang mulai padat ini. Tiba-tiba segerombol motor dari arah belakang yang terus saling berlomba memainkan klaksonnya mengganggu konsentrasiku. Sambil melihat dari spion motorku, aku menepi ke sisi kiri jalan. Satu-satu dari mereka mulai melewatiku. Aku melirik dengan waswas ketika motor yang terakhir tepat melewatiku. Sebuah kebetulan yang buruk karena pemilik motor itu tidak lain adalah Arial. Bang Arial begitu aku biasa memanggilnya. Mahasiswa semester atas yang konon terkenal sebagai mahasiswa tergalak tahun ini. Daripada gelar itu, sebenarnya aku lebih setuju Bang Arial itu disebut sebagai mahasiswa brandalan. Selalu ada di tiap keributan kampus. Banyak yang menentangnya dan banyak juga yang selalu mencari cara untuk menjebaknya. Namun sia saja, Bang Arial bukan jenis brandalan yang bodoh. Tentu tak bisa dipungkiri kalau ternyata Bang Arial adalah mahasiswa cerdas yang begitu banyak dosen memujinya. Dan sifat brandalannya itu bisa terbayar lunas oleh kecerdasannya yang selalu mengharumkan nama kampus.
 “ah mereka selalu begitu” Begitulah setiap aku pulang sore. Tidak ada seharipun aku menghabiskan jalan ini tanpa keributan motor Bang Arial dan teman-temannya itu. Akhirnya sisa jalan ini aku habiskan untuk menyesalinya.Ya, aku tau persis bagaimana sifat bang Arial di luar kampus bahkan di rumahnya. Rumahnya hanya berjarak 2 rumah dengan rumahku.
Aku memperlambat laju motorku ketika tidak sengaja mendapati sosok Kemal di depan rumah Nadia,teman dekatku yang kuliah kedokteran di Bandung. Nadia baru saja keluar rumah saat aku mau menyapanya. Namun tertunda saat kudengar Kemal memanggilnya lebih dulu. Tapi aku memutuskan untuk tidak jadi menyapanya setelah tersaadar kemal memanggilnya dengan sapaan ‘sayang’. Aku kecewa dengan sempurna. Kuputuskan untuk mempercepat kembali laju motorku. Melakukan adegan patah hati yang dramatis.
“Aku memang tidak bakat dalam urusan beginian” kataku merutuki diri saat sampai di depan rumah. Setengah sadar kugerakkan kepalaku menoleh sebentar ke rumah Bang Arial. Aku masih ingat saat ospek dulu tiba-tiba Bang Arial memukul Dimas,temanku yang waktu itu berbaris tepat di belakangku. Kebetulan Bang Arial termasuk panitia ospek di tahun awalku jadi mahasiswa di kampus. Aku yang masih polos itu terang saja menangis saat melihatnya, walaupun hanya tersedu. Yang masih tidak kumengerti adalah waktu itu aku mendengarnya berbisik ‘maaf’ ke arahku.
“Amanda, kamu ngapain disitu terus” ternyata mama sudah pulang dari kantor. Ya, orang tua tunggal yang bekerja keras setiap hari demi anak tunggalnya.
“Ma, kenapa aku selalu gagal jatuh cinta” tanyaku polos di dalam pelukannya. Berapapun usiaku, aku tetaplah seorang gadis kecil di depan mama. Mama tau betul aku orang yang tertutup dan hanya dialah yang menyaksikan setiap rinci ceritaku.
“kamu tidak gagal,sayang. Kamu cuma diuji sebelum cinta yang memilihmu itu datang” katanya sambil membelai rambut panjangku berulang kali. Aku selalu membenarkan semua yang ia katakan. Terlepas dari kenyataan bahwa ia memang orang tuaku, ia berkata apapun juga pasti karena ia pernah mengalaminya.
Ketika bintang malam datang, aku selalu memilih belajar di taman rumah. Di atas meja dan kursi taman ini aku melukiskan semua cita-citaku. Mengalir dalam tinta penaku yang menjawab semua butir soal pertanyaan dengan jawaban sempurna.
Hari baru dengan rasa baru. Bagiku begitu mudah menyembuhkan luka patah hati kemarin. Kemal mengembalikan buku catatanku dengan wajah seperti bagaimana biasanya dirinya. Yang berbeda hanyalah aku. Aku tak lagi berdesir melihatnya walaupun aku masih terpukau dengannya ketika ia berlari di lapangan dan menggiring bolanya.
“Manda” Aku menelan ludah mendapati Bang Arial menghampiriku saat aku keluar dari kelas Kalkulus. Samar kulihat bagian telinga kanannya agak lebam dengan sedikit darah di ujung bibir kiri. Jelaslah aku tak perlu tanya. Bang Arial habis berkelahi.Lagi.
“Ada apa bang?” tanyaku kaku. Bang Arial selalu menghindariku di kampus. Atau mungkin aku yang tidak sadar menjauhinya selama di kampus. Entahlah.
“Kamu harus pulang denganku. Nggak perlu tanya kenapa” dengan satu gerakan, dia membimbingku berjalan tepat di depannya. Ekor mataku bisa menangkap gerakannya mengawasi sekitar. Firasat buruk menguasai pikiranku.
“Aku mau pulang sendiri” kataku setengah berteriak saat kami sampai di halaman parkir. Beberapa temanku mulai memasang mata ke arah kami. Mungkin beberapa heran bagaimana bisa Bang Arial bisa dibentak oleh mahasiswa tulen yang sama sekali tak punya tampang brandalan sepertiku. Biarlah.
“oke,oke” dia pergi.
Akhirnya tinggal aku. Sedikit merasa aneh tapi sebisa mungkin kubuat santai. Selepas dari kampus, perjalanan pulangku baik-baik saja sampai di tengah jalan dan aku yakin tidak ada yang perlu dicemaskan. Sedikit merasa kehilangan karena sudah sampai di lampu merah terakhir, tapi Bang Arial dan teman-temannya tidak juga kelihatan di jalan ini. Sambil menunggu lampu merah menjadi hijau, tiba-tiba aku mendengar segerombol motor dari arah belakang. Karena kukira itu adalah Bang Arial, aku memberanikan diri menoleh ke belakang. Tapi ternyata bukan. Orang yang berada di paling depan adalah Arman, orang yang pernah terlibat perkelahian hebat dengan Bang Arial. Arman tidak menyadari keberadaanku. Aku kembali melihat ke depan. Sedikit melihat ke spion, seseorang di belakangnya membisikkan sesuatu kepadanya dan aku mulai takut.
Lampu hijau. Aku mempercepat jalannya motorku. Namun mereka membuntutiku. Sebelumnya aku tak pernah merasa terancam seperti ini. Tapi sudahlah. Aku hanya ingin cepat sampai rumah.
Sesampaiku di depan rumah. Aku segera membuka gerbang depan rumah tapi ternyata mereka datang dan kini sudah tepat di depanku sebelum aku berhasil membuka kunci gerbang.
“kau Amanda kan?” Arman memberiku pertanyaan yang sungguh tidak perlu kujawab. “Dimana rumah Arial?” pertanyaan yang langsung ke inti. Tanpa basa-basi. Aku jelas tak mau menjawabnya. Bagaimanapun Arman dan Arial adalah brandal kampus yang sama kuat. Arman pasti berniat tidak baik padanya.
“Maaf kak. Aku tidak tau” jawabku sambil kembali berusaha membuka kunci gerbang.
“Dimana rumah Arial?” setengah berteriak, Arman berteriak di telingaku.
Tiba-tiba Bang Arial dan teman-temannya datang. Entah mereka muncul dari mana, kecemasanku sudah menguasai akal sehatku. Bang Arial menyuruhku masuk ke dalam rumah dan aku menurut. Dari dalam rumah aku menyaksikan lagi perkelahian besar kedua Bang Arial dengan Arman. Mataku tak pernah lepas dari sosok Bang Arial. Dadaku merasakan perihnya ketika pukulan Arman mendarat di mulut Bang Arial. Teringat akan bekas lukanya tadi sore. Sekarang justru kena hantam lagi. Pasti sakit sekali. Aku menangis sejadinya. Kenapa masih ada saja pertengkaran semacam ini.
“Kak Arman,hentikan” aku buka pintu rumah dan meneriakinya. Tepat ketika Arman menoleh ke arahku, Bang Arial menghantam wajahnya. Seketika perkelahian itu usai, Arman dan teman-temannya pergi.
“maafkan aku kau harus melihatnya lagi. Apapun yang kulakukan, aku hanya ingin melindungimu. Setelah mereka tau kau mengenalku,mungkin akan ada yang lebih lagi dari ini. Tapi aku bakal selalu ada di dekatmu. Aku nggak bakal biarin mereka menyentuh kamu sedikitpun. Aku sayang kamu,Amanda. Percayalah, kita bakal baik-baik aja” katanya sambil merengkuhku sangat dalam. Jauh di dalam pelukan dan dalam hatinya. “Mama, cinta datang merengkuhku” bisikku.



^^cerpen yang kukarang selama kurang lebih 2 jam ini akhirnya selesai. Entah ada inspirasi apa tadi. Cuma iseng. Maklum kalo jadinya agak panjang :D *happyReading #ThanksForReading :)

1 comment:

  1. Tema sama isinya udah bagus da!
    Suka bacanya :D

    tinggal dirapihin aja susunan katanya, koma, titik sama bagian-bagiannya. Biar yang baca gak bingung da ^^

    Mampir ke blogku yaaa

    ReplyDelete

MY WEDDING ^^

MY WEDDING ^^