Monday, January 20, 2020

Menantu Baru Itu Orang Asing

Assalamu'alaikum, ladies!

So, how's your day? Sudah terbiasa belum dengan status barunya? I mean yang pada baru saja menikah lho ya. Karena dengan sebuah ikatan pernikahan, menjadikan kita punya status baru.

Status sebagai istri dari seorang suami. Sebagai menantu dari orang tuanya suami. Sebagai kakak atau adik dari saudarannya suami. Sebagai bagian dari keluarga besar suami.
Banyak ya..
Iya..

Oleh karena itu, di samping penyesuaian dengan suami kita, banyak juga drama yang tak kalah menarik cerita dan lika-likunya, yaitu penyesuaian dengan keluarganya. Yap! Ternyata lebih menegangkan menjadi orang baru yang masuk di keluarga baru. Lebih dari itu, bahkan terkadang bisa disebut sebagai asing. Bukan, bukan keluarga itu yang asing. Tapi kita yang asing. Kita, para menantu baru.
Yeah.. Semua menantu baru adalah orang asing. Awalnya.

Kita yang tadinya hanyalah seorang anak perempuan dari sebuah keluarga kecil, yang awalnya hanya seorang kakak atau adik dari saudara kita di rumah, mendadak menjadi milik seseorang. Tak cukup hanya menjadi milik seseorang, tapi kita juga dibawa ke hadapan semua keluarganya.

Dibiji..Dibiji.. Begitu kalau kata orang dulu. Ketika ada orang baru, tentu semua keluarga tanpa sadar menaruh perhatian lebih kepadanya. Hal ini kusadari jauh sebelum diriku sendiri menikah. Hanya menyadari kondisi itu, bukan berarti aku memposisikan bagaimana kalau diriku menempati posisi itu ya.
You catch my point, right?

But finally, here we go.
Semua dilema-dilema pranikah yang kukhawatirkan saat sebelum menikah akhirnya kualami satu persatu. Berbagai tahapan pernikahan mulai aku tapaki dengan perlahan. Butuh waktu yang tidak sedikit untuk mengenal seseorang yang sudah sah menjadi suamiku. Tapi tentu butuh waktu lebih banyak lagi untuk mengenal bahkan menyatu dengan keluarganya.

Ladies, ada tidak sih, dari kalian yang merasa ditinggal saat hari pertama diboyong ke rumah suami dan keluarganya?
Karena aku merasa demikian. Aku sempat berpikir bisa-bisanya keluargaku meninggalkanku begitu saja di rumah ini, di rumah yang mana aku tidak dekat dengan siapapun di sini. Even suamiku saja aku belum merasa cukup dekat. Bagaimana bisa? Padahal keluargaku sangat paham sekali bahwa aku orangnya sangat tertutup dan tidak mudah merasa nyaman berada di lingkungan baru dengan orang-orang yang baru pula.

Tapi mungkin caranya memang begitu ya.
Aku bisa apa.

Setelah keluargaku pergi meninggalkanku (maksudnya boyongan yaaa, bukan ditinggal karena bukan dianggap anaknya lagi), aku tiba-tiba merasa benar-benar sendiri. Suamiku menggenggam tanganku, mungkin agar orang tuaku melihatnya dan merasa tenang. Tapi aku yang tidak tenang. >,<

Oh My God, I can't...
Waktu terasa saaaaaaaaaaaaangat panjang dan setiap detiknya terasa lama. Aku mencoba santai, tapi tidak bisa. Aku mengantuk tapi tidak bisa tidur. Aku lapar tapi tidak nafsu makan. Aku pusing dan lelah tapi lupa caranya istirahat. Hati dan pikiran, bahkan fisikku semuaaaaaaaanya lelah. Bukan lelah karena tidak ada waktu dan tempat istirahat, bukan. Tapi lelah karena tegang dan terjaga.
I am not myself.. I am not fine..

Beberapa hari berlalu sejak hari pernikahan membuat aku mulai merasa aman berada di dekat suamiku. Benar juga, bagaimana suami memperlakukan kita di hari-hari awal pernikahan ternyata sangat menentukan progress kedekatan kita. Memang tidak terburu-buru, tapi beruntung sekali karena suamiku cukup komunikatif jadi mudah bagiku untuk mengikuti polanya. Sehingga, yah, aku yang pada awalnya sering merasa insecure, perlahan fisik dan batinku mulai menerima bahkan mulai terbiasa dengan keberadaannya.

Tapi kan setelah itu LDR?
Iya, LDR itu yang membuat aku dan suami jauh-jauhan. Tapi karena sebelumnya progress kedekatan kami baik, jadi LDR-nya bisa ditahan sedikit. Masalah kalau ternyata lama-lama jadi agak berat ya berarti harus ketemu dulu. Ya keadaan kita, kita sendiri yang harus mencari tahu polanya. Dicari bagaimana pola terbaik agar tidak terlalu banyak yang dikorbankan, tapi juga tidak memaksa keadaan.

Itu kan progress suami dan istri. Bagaimana progress mertua dan menantu?
Mungkin ini lebih complicated untuk dicari polanya. Karena tidak semua orang tua itu sama dengan orang tua kita. Begitu awalnya jalanku berpikir. Bagaimana cara agar aku diakui? Bagaimana cara agar aku terlihat baik? Bagaimana cara agar aku bijine apik? Bagaimana cara agar aku nggak malu-maluin? Bagaimana agar ini.. Bagaimana agar itu.. Begitu terus yang ada di pikiran. Karena biar bagaimana pun juga, tidak ada menantu yang tidak ingin dianggap ora nambahi opo-opo.

Iya to? Ngoten to?
 
Tapi perlahan aku mencoba mengubah cara berpikirku. Tidak, bukan cara berpikir sih, tapi lebih kepada action-nya. Semua orang tua tentu menyayangi anak-anaknya. Orang tua pernah muda, tapi kita yang muda belum tahu bagaimana jadi orang tua. Jadi, orang tua pasti lebih bisa mengatasi berbagai karakter anak. Begitu pula dengan karakter anak sepertiku.

Ada sedikit cerita... Hari pertama, hari kedua, hari ketiga sejak hari boyongan berlalu. Dengan egois aku masih berharap suami dan keluarga bisa memaklumi aku yang masih serba pasif ini. Tidak tahu apa-apa. Bahkan saat suami kelelahan pun, aku tidak tahu harus bagaimana dan dimana aku bisa membuatkan satu gelas teh hangat. Mungkin aku tahu dimana dapurnya, tapi kan aku tidak tahu dimana teh dan gulanya?
Jadi aku memutuskan untuk hanya menemaninya saja. Sejatinya aku cemas, bahkan wirid ba'da sholat-ku bersambung dengan beberapa doa untuk membantunya merasa lebih baik. Aku bahkan tidak mengindahkan rasa lelah dan pusing yang sedari tadi juga ngublek-ngublek isi kepalaku. Tidak lama kemudian, aku merasa lebih baik saat akhirnya ibu mertua membawakan segelas teh hangat untuk suamiku.

Jujur, aku berterima kasih atas datangnya satu gelas teh hangat itu yang membantu meringankan sedikit rasa bersalahku dan rasa frustasiku karena tidak bisa membuatnya sendiri untuk suamiku.

Dan sekali lagi, aku berharap suami dan mertua sama-sama memaklumi betapa pasifnya aku. Harapan yang apalah-apalah ini.

It's okay kalau dengan orang tua sendiri, selama ini aku biasanya pasif. Hanya aktif di saat aku merasa mampu atau yakin dengan sesuatu. Yeah I'm really that kind of girl. Iya, ngeselin dan ngrepotin emang. Tapi dengan orang tua suami alias mertua, masak iya aku juga pasif? Terus bagaimana mau dipandang baik?

Well, orang tua biasanya tidak menuntut banyak, tapi setiap anak pasti ingin membahagiakan orang tua-orang tuanya. Setiap anak punya kelebihan masing-masing dan punya caranya sendiri-sendiri untuk membuat orang tuanya bahagia dan bangga. Tapi saat kita dihadapkan dengan keluarga baru, bisa saja kelebihan yang kita banggakan tidak akan cukup. Minder, tidak percaya diri, tidak punya cukup keberanian, merasa sendiri, ada saja negative thoughts yang merusak niat baik kita. Padahal all we have to do is just... start.

Aku lupa. Semua hubungan itu tidak hanya satu arah. Hal yang paling dasar justru membuat diri nyaman dan harus membuka diri dengan semua lingkungan dan orang baru di keluarga baru. Dengan bekal rasa nyaman ini, ternyata sangat membantu untuk bisa berkomunikasi aktif dengan mertua. Beruntung, mertuaku saaaaaaaaangat ramah dan terbuka. Aku saja yang terlalu takut di awal. Hehehe. Aku lupa bahwa pada dasarnya semua orang tua ingin melihat anaknya bahagia. Mertua juga orang tua kita kok. Perkara sampai sekarang masih ada perasaan sedikit canggung dan tidak ingin terus-terusan merepotkan itu wajar. Ada waktunya. Ada prosesnya. Nikmati saja.

Selanjutnya yang tidak kalah dilematis adalah proses mengenal keluarga besar suami. Saat acara pernikahan dan boyongan, mungkin sudah menjadi langkah awal untuk kita berusaha mengenal. Tapi mengenal saja bukan berarti menjadi dekat kan? Mengenal saja mungkin ada beberapa nama atau wajah yang selanjutnya kita lupa lagi.

Karena terlalu banyak orang kan? Iya.

Itu karena kita hanya berusaha menghafal. Menghafal nama. Menghafal wajah. Menghafal itu berbeda dengan mengenal. Tidak sama. Hal itu baru kusadari saat ada acara keluarga. Ikut suami dan mertua ke acara keluarga itu berarti kita akan bertemu lagi dengan wajah dan nama yang mungkin pernah kita coba hafalkan di acara pernikahan kita. Karena bagi kita itu bagian dari usaha menjadi menantu yang baik, remember? hehehe. Tentu kita tidak ingin dianggap sebagai menantu yang ora ngerti sedulur. Iya kan?

I did it, actually. Berusaha menghafal nama dan wajah. Hasilnya? Hasilnya agak berantakan sih. Hahaha. Forgot that I am really bad at this thing. FYI keluarga ibu mertuaku semuanya awet muda! Kesalahan pertamaku adalah ada yang seharusnya kupanggil budhe tapi malah menjadi bulik. Tapi itu tidak apa-apa, tidak masalah. Perlu waktu, I guess?

Lalu ada juga waktu dimana aku ikut mertua ke acara keluarga lagi untuk kali kedua. Agak berbeda dengan kali terakhir, kali ini hanya aku dengan mertua, suamiku tidak ikut. Agak nervous apalagi setelah akhirnya berkumpul dengan anggota keluarga yang lain. Oh I miss my husband~ Betapa kakunya aku untuk mencoba membaur itu rasanya agak... membebani? Well, bukannya membebani juga sih, tapi lebih kepada rasa tidak puas. Aku kecewa dengan usahaku sendiri yang kurang elegan. Aku bertanya-tanya bagaimana dan apa yang dilakukan menantu-menantu pada umumnya sih? Aku merasa kurang... research, maybe?

Tapi tidak. Sekali lagi, ternyata aku salah. I was just thinking too much. Karena kalau dinikmati dan diperhatikan, sebenarnya semua orang ikut senang, ikut berbahagia, dan menyambut kedatangan kita para menantu baru dengan tangan terbuka. Bagaimana kita bisa mengenal semua orang itu kalau kita tidak menampakkan diri?
Soooooo di sinilah aku mulai berpikir, semakin kita sering bertemu, jalan bareng boleh juga, pokoknya dengan meningkatkan intensitas bertemu ternyata bisa lumayan membantu kita untuk menyesuaikan diri loh. Asal kitanya juga mencoba ikut membaur.

Yang sekarang masih agak mengganjal di hati, mungkin karena aku belum juga menemukan kelebihanku dan belum bisa fully following the rhytm. Jadi, tetep masih banyak waktu dimana aku masih juga pasif. Padahal kembali lagi, setiap anak ingin bisa melakukan banyak hal untuk orang tuanya. Begitu pula yang ingin kita lakukan untuk mertua kita. Karena mertua adalah orang tua kita juga. Dan mungkin, orang tua dan mertua juga sebenarnya tidak merasa direpotkan kok dengan apa yang mereka lakukan juga untuk kita. Again, we were just thinking too much. 

Padahal mungkin saja ada beberapa hal yang mungkin mertua kita bisa lebih memahami kebutuhan kita dibanding suami kita sendiri loh. Misalnya seperti dalam hal foto-foto di tempat hiburan atau wisata atau bahkan tempat biasa. Kebutuhanku akan hal semacam ini terkadang lebih dimengerti oleh ibu mertuaku di saat suamiku sendiri sometimes memandang kebutuhan ini sebagai kebutuhan yang apalah - apalah. 
Maklum, cowok-cowok biasanya memang begitu yaaaaa. Hehehe.

Yasudah.
Sampai di sini dulu sharing kita hari ini. Next time kita sharing lagi.

Salam!

Saturday, January 18, 2020

Satu Frekuensi

Assalamu'alaikum, wise reader! ^^

Ladies, sudah bersyukur belum hari ini? Alhamdulillah. 
Hari baru harus lebih banyak lagi yang bisa kita syukuri ya :) Life's Good. Seperti iklannya LG hehehe...

Tidak terasa ini sudah minggu ke-3 di awal tahun 2020. Actually kali ini ada banyak cerita yang ingin aku share di sini. Bisa banyak karena sebenarnya semuanya hanya beberapa penggalan cerita. Karenanya, kuharap beberapa penggalan cerita ini cukup bisa mewakili perasaanku akhir-akhir ini. Tapi ladies, kuharap perasaan kalian tidak campur aduk saat membaca ini, karena cerita ini bisa saja terlalu random untuk diceritakan semuanya sekaligus. Agak maksa.

Relax, I'll try my best for not making you hard to understand my story here. hehehe...

Sejak kecil, kupikir perempuan paling bahagia di dunia ini adalah perempuan yang menikah dengan laki-laki yang sangat ia cintai. Bahkan aku ingat saat aku kecil (kira-kira masih sekolah tingkat SD), ada yang iseng menanyaiku seperti apa laki-laki yang ingin aku nikahi kelak saat sudah dewasa. Dengan tanpa banyak pikir, aku hanya menjawab seadanya. 
"Laki-laki yang seperti bapak. Yang bisa masak." 

Kalau dipikir-pikir sekarang, aku masih tidak mengerti kenapa dulu aku menjawab seperti itu. Bahkan sekarang aku geleng-geleng dengan jawaban itu. Bisa masak? Kenapa dulu aku menjawab itu. Apakah itu artinya sejak kecil aku memang doyan makan kalik ya?

Tapi belakangan aku berpikir, mungkin itu juga karena setiap figur bapak adalah cinta pertama setiap anak perempuan. Ditambah sejak kecil aku juga lebih sering bersama bapak, terutama saat daya ingatku terus berkembang dan menciptakan kenangan dan memori untuk disimpan.

Tapi saat kemarin aku sendiri menikah. Benar-benar menikah. Bisa dikatakan aku menikah dengan seorang laki-laki yang tidak begitu aku kenal. Memang ada jeda waktu antara saat kami bertemu untuk pertama kalinya sampai akhirnya lamaran pernikahan itu datang. Tapi di waktu-waktu itu aku tidak berusaha mengenal lebih jauh, sejujurnya. Kenapa? Karena aku berusaha menciptakan jarak. Jarak aman agar aku sendiri tidak terlalu berharap. Jarak aman agar aku tidak menyukainya, apalagi menyukainya duluan. Jarak aman pula agar aku tidak terluka jika ternyata dia bukan jodohku.
Ingat, kita semua benci terluka.

Tapi aku menikahinya. Bahkan saat berias di depan kaca di hari pernikahanku, aku masih tidak tenang. Apakah aku benar-benar akan menikah? Dilema. Tapi itu wajar, katanya. Namaku belum juga dipanggil sampai akad ijab-sah itu pun selesai. Aku resmi dan sah jadi seorang istri. Baik di mata agama, maupun di mata hukum negara. Ketika aku dipanggil keluar dan mencium tangannya, akhirnya aku sadar. "Ah, ini jodohku. Imamku. Takdirku. Cintaku."
Lalu apa aku bahagia?
Ya, tentu saja. Bapak dan ibuku sudah berhasil menikahkanku dengan seorang laki-laki yang baik. Kenapa harus tidak bahagia? Tentu saja aku bahagia. Segala drama manten anyar sudah aku ceritakan di beberapa post sebelum-sebelum ini. Semuanya adalah beberapa pengalaman aku pribadi ditambah beberapa cerita-cerita dari teman-teman yang juga baru saja menikah. Semua pengalaman baik-buruk, usaha-usaha keras kita untuk mencintai dan dicintai, semua itu adalah pengalaman berharga untuk kita membina rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah. Aamiin. 

"Belum satu frekuensi," kalau kata Eyang Habibie. Karena belum satu frekuensi dengan pasangan kita, makanya belum ketemu cara yang pas. Penyesuaian demi penyesuaian kita lakukan. Bahkan aku pernah beberapa kali membuat suamiku kesal. Untuk ukuran seseorang yang jarang mengeluh dan tidak pernah marah, mungkin saat itu aku yang keterlaluan karena membuatnya kesal. Tapi suatu kali, pernah juga suamiku membuatku menangis. Aku pergi ke kamar agar tidak ketahuan tapi suamiku memelukku dari belakang dan membimbingku untuk duduk tenang dan membicarakan apa yang terjadi. Ya, semua itu adalah proses untuk menjadi satu frekuensi.

Tapi ladies, aku bertanya-tanya mungkinkah ada waktu kelak kita akan bisa benar-benar satu frekuensi dengan pasangan kita?  Karena semua orang itu berbeda, tidak sama. Bahkan anak kembar saja pasti ada bedanya. Lalu apakah sepasang suami istri bisa satu frekuensi? Bisakah? Dua orang yang sangat berbeda bisa jadi satu frekuensi hanya karena menjadi pasangan suami-istri? Yah... Kita belum tahu pasti jawabannya. Masih ada baaaaaaaanyak hal di depan yang harus kita lalui untuk mendapatkan jawabannya.

Masih banyak sekali.
Masih banyak yang harus kita lalui di depan. Apapun yang kita lalui sekarang ini adalah awalnya. Bukankah harusnya kita bersemangat? Karena apapun dan segala hal yang kita alami ini adalah yang pertama kali bagi kita. Lebih spesial lagi karena kita mengalaminya bersama orang spesial. Hehehe...

"Serba pertama!" Kalau kata orang mah.
Pertama kali ini dengan suami.
Pertama kali itu dengan suami.

Aku juga. Sebelum menikah, aku biasanya membatasi diri dengan beberapa hal menyenangkan seperti hiburan, belanja, pergi-pergi, dan sebagainya. Mungkin ini juga alasannya kenapa ada banyak hal baru kutemukan setelah menikah. Keterlaluan sih, jadi ketinggalan jaman, tapi tidak ada yang kusesalkan karena pertama aku mengalaminya justru bersama suami.

Mungkin pengalaman semacam ini akan sangat berharga kalau aku ceritakan kepada teman-teman yang tidak pernah pacaran. Karena setelah ia menikah, semuanya benar-benar akan serba pertama dan menjadi pengalaman yang saaaaangat berharga.

Tapi sayangnya, ada beberapa teman yang ternyata merasa berkecil hati, menganggap dirinya tidak menarik karena tidak punya pacar. Tapi yang lebih kusayangkan adalah ada juga beberapa teman yang mulai menganggap dirinya tidak menarik setelah orang lain mengejeknya yang tidak punya pacar. Well, you are fine, ladies. You are enough. And you are beautiful. Mungkin memang benar bahwa punya pacar itu enak, punya pacar itu jadi merasa dicintai, punya pacar itu jadi merasa aman. But don't hurt yourself with negative thoughts. Love yourself better, ladies.

Kalau sudah butuh status dicintai, ya udah nikah aja. Status terbaik itu sudah. hehehe...

Emang kalau sudah menikah bakal otomatis dicintai?
Hmmm merasa dicintai sih sudah,
tapi sudah dicintai betulan belum ya?
mungkin aku harus tanya dulu sama suamiku. hehehe.

Oh iya, ladies, suatu kali aku pernah bertanya-tanya. Menerima lebih banyak dari apa yang bisa kita berikan, apakah bisa dianggap sebagai hak? Sometimes I doubt myself. Kita yang minim dalam hal pengalaman cinta, tidak benar jika selalu pasif, bukan? Tapi tidak benar juga kalau kita terlalu aktif. Ya udah lah ya ikutin aja flow nya. 

Tapi ladies, entah kamu sependapat denganku atau tidak, tapi menurutku, setelah menikah justru kita harus selalu berusaha lebih keras untuk dicintai. Terlebih jika sebelumnya kamu tidak mencintai dia dan dia tidak mencintai kamu. Bisakah kalian tiba-tiba saling mencintai? Mungkin smiles, kisses and hugs cukup mewakili jawaban untuk pertanyaan ini. Tapi sungguh, Allah SWT dengan memberikan kita ikatan pernikahan dan segala aturannya sudah memberikan jalan dan petunjuk. Kita hanya harus berjalan mengikuti rambu-rambu rumah tangga dan berusaha menemukan jawabannya.

Well, It's okay. Segala warna-warni kehidupan pernikahan itu indah. Mencintai dan dicintai dengan halal dan setiap bagian daripadanya bernilai ibadah. MasyaAllah. Alhamdulillah. 

Sampai di sini dulu sharing kita hari ini. Kita kumpulkan cerita baru dulu untuk sharing berikutnya. hehehe.

Salam! ^^


Friday, January 17, 2020

When Life Gets Hard, Remember This

Assalamu'alaikum, Ladies :)

How's life? 
Hidup tidak melulu tentang kisah-kisah yang bahagia. Ada kalanya kita harus struggle sedikit. Harus menempuh beberapa kesulitan untuk mendapatkan sebuah kemudahan yang manis. 

Ada pepatah sebuah kerja keras akan menghasilkan hasil akhir yang jaaaaaaauh lebih manis ketimbang mendapatkan sesuatu secara gratis. Jadi, jika kerja keras kita sekarang belum juga membuahkan hasil yang manis, maka itu bukanlah akhirnya, kita harus sediiiiiikit lagi berusaha sehingga hasil yang manis itu akan sampai di depan mata kita.

Namun, jika bisa memilih, pasti banyak dari kita yang lebih suka mendapatkan apapun secara gratis. Kalau ada cara yang mudah, kenapa harus memilih jalan yang susah? Pasti begitu.
Ya.
Aku juga berpikir demikian.
Kenapa kita harus menempuh jalan yang sulit kalau jalan yang mudah itu ada?

Tapi, ladies, semua keadaan itu tidak ada yang tidak patut disyukuri. Bahkan dalam keadaan paling terpuruk pun, kita harus cepat-cepat mencari alasan untuk tetap bersyukur kepada Allah SWT. Kenapa? Karena jangan sampai di keadaan tersulit pun, kita masih berpikir untuk mempersulit keadaan kita sendiri.

Ingat, kita semua benci terluka.
Dan yang paling kita benci adalah... mengakui sendiri bahwa kita sedang terluka.

Hati kita masalahnya, ladies.
Hati kita ini mudah sekali berbolak-balik. 
Seperti yang aku rasakan sendiri saat menulis blog post ini. Beberapa menit yang lalu, aku merasa sedang berbahagia. Aku bahagia dan bersyukur karena bisa menikmati hari yang indah bersama banyak orang. Tetapi tiba-tiba ada kabar yang menjungkir-balikkan semangatku. Lalu seketika, aku merasa kecil, merasa sedih, merasa lemah. Bahkan setelah wirid ba'da sholat-ku selesai, aku tak bisa menahan diri untuk mengadu, untuk mengeluh, untuk mengutuk diri sendiri kepada Allah SWT.
And I cried, alone.

Yeah I was thinking that I was alone, and left behind. Tapi tidak, ladies.. We are not alone. Bahkan Allah SWT menjelaskan dengan jelas bahwa setiap kesulitan itu pasti ada kemudahan setelahnya.

Tiba-tiba aku teringat pesan ibuku. Ibuku berpesan agar tidak pernah berhenti bersyukur dan berpikir positif. Semua keadaan pasti ada baiknya, ada hikmahnya, ada keuntungannya. Bahkan di keadaan kita yang paling sulit pun, kita harus segera mencari-cari alasan untuk mensyukurinya. Selalu ada hal baik untuk disyukuri bahkan dalam keadaan kita yang paling sulit. 
"Jangan sampai kita suudzon sama Gusti Allah..."

Dan satu hal lagi yang beliau selalu ingatkan adalah...

"Kadang-kadang memang kita harus susah sedikit, tapi pokoknya harus cari cara biar kita tetep dapet pahala dari kesusahan kita. Gimana caranya? Ya dengan bersyukur."

Kata ibu kita akan sangat menyesal kalau kita mengalami keadaan yang sulit dan kita tidak dapat apa-apa dari kesulitan yang kita hadapi.

Jadi gimana pendapat kamu, ladies?
Sekali lagi kita tahu kita benci terluka. Tapi luka apapun yang kita alami sekarang, jangan sampai luka itu menghalangi kita untuk menghitung-hitung nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita. Sebagai langkah awal untuk terus dan tetap bersyukur dalam keadaan apapun, cara ini lumayan bisa dikiatkan sebagai rutinitas baik setiap hari.
Jadi, sudah bersyukur belum hari ini?
Alhamdullillah :) :) :)

MY WEDDING ^^

MY WEDDING ^^