Saturday, January 18, 2020

Satu Frekuensi

Assalamu'alaikum, wise reader! ^^

Ladies, sudah bersyukur belum hari ini? Alhamdulillah. 
Hari baru harus lebih banyak lagi yang bisa kita syukuri ya :) Life's Good. Seperti iklannya LG hehehe...

Tidak terasa ini sudah minggu ke-3 di awal tahun 2020. Actually kali ini ada banyak cerita yang ingin aku share di sini. Bisa banyak karena sebenarnya semuanya hanya beberapa penggalan cerita. Karenanya, kuharap beberapa penggalan cerita ini cukup bisa mewakili perasaanku akhir-akhir ini. Tapi ladies, kuharap perasaan kalian tidak campur aduk saat membaca ini, karena cerita ini bisa saja terlalu random untuk diceritakan semuanya sekaligus. Agak maksa.

Relax, I'll try my best for not making you hard to understand my story here. hehehe...

Sejak kecil, kupikir perempuan paling bahagia di dunia ini adalah perempuan yang menikah dengan laki-laki yang sangat ia cintai. Bahkan aku ingat saat aku kecil (kira-kira masih sekolah tingkat SD), ada yang iseng menanyaiku seperti apa laki-laki yang ingin aku nikahi kelak saat sudah dewasa. Dengan tanpa banyak pikir, aku hanya menjawab seadanya. 
"Laki-laki yang seperti bapak. Yang bisa masak." 

Kalau dipikir-pikir sekarang, aku masih tidak mengerti kenapa dulu aku menjawab seperti itu. Bahkan sekarang aku geleng-geleng dengan jawaban itu. Bisa masak? Kenapa dulu aku menjawab itu. Apakah itu artinya sejak kecil aku memang doyan makan kalik ya?

Tapi belakangan aku berpikir, mungkin itu juga karena setiap figur bapak adalah cinta pertama setiap anak perempuan. Ditambah sejak kecil aku juga lebih sering bersama bapak, terutama saat daya ingatku terus berkembang dan menciptakan kenangan dan memori untuk disimpan.

Tapi saat kemarin aku sendiri menikah. Benar-benar menikah. Bisa dikatakan aku menikah dengan seorang laki-laki yang tidak begitu aku kenal. Memang ada jeda waktu antara saat kami bertemu untuk pertama kalinya sampai akhirnya lamaran pernikahan itu datang. Tapi di waktu-waktu itu aku tidak berusaha mengenal lebih jauh, sejujurnya. Kenapa? Karena aku berusaha menciptakan jarak. Jarak aman agar aku sendiri tidak terlalu berharap. Jarak aman agar aku tidak menyukainya, apalagi menyukainya duluan. Jarak aman pula agar aku tidak terluka jika ternyata dia bukan jodohku.
Ingat, kita semua benci terluka.

Tapi aku menikahinya. Bahkan saat berias di depan kaca di hari pernikahanku, aku masih tidak tenang. Apakah aku benar-benar akan menikah? Dilema. Tapi itu wajar, katanya. Namaku belum juga dipanggil sampai akad ijab-sah itu pun selesai. Aku resmi dan sah jadi seorang istri. Baik di mata agama, maupun di mata hukum negara. Ketika aku dipanggil keluar dan mencium tangannya, akhirnya aku sadar. "Ah, ini jodohku. Imamku. Takdirku. Cintaku."
Lalu apa aku bahagia?
Ya, tentu saja. Bapak dan ibuku sudah berhasil menikahkanku dengan seorang laki-laki yang baik. Kenapa harus tidak bahagia? Tentu saja aku bahagia. Segala drama manten anyar sudah aku ceritakan di beberapa post sebelum-sebelum ini. Semuanya adalah beberapa pengalaman aku pribadi ditambah beberapa cerita-cerita dari teman-teman yang juga baru saja menikah. Semua pengalaman baik-buruk, usaha-usaha keras kita untuk mencintai dan dicintai, semua itu adalah pengalaman berharga untuk kita membina rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah. Aamiin. 

"Belum satu frekuensi," kalau kata Eyang Habibie. Karena belum satu frekuensi dengan pasangan kita, makanya belum ketemu cara yang pas. Penyesuaian demi penyesuaian kita lakukan. Bahkan aku pernah beberapa kali membuat suamiku kesal. Untuk ukuran seseorang yang jarang mengeluh dan tidak pernah marah, mungkin saat itu aku yang keterlaluan karena membuatnya kesal. Tapi suatu kali, pernah juga suamiku membuatku menangis. Aku pergi ke kamar agar tidak ketahuan tapi suamiku memelukku dari belakang dan membimbingku untuk duduk tenang dan membicarakan apa yang terjadi. Ya, semua itu adalah proses untuk menjadi satu frekuensi.

Tapi ladies, aku bertanya-tanya mungkinkah ada waktu kelak kita akan bisa benar-benar satu frekuensi dengan pasangan kita?  Karena semua orang itu berbeda, tidak sama. Bahkan anak kembar saja pasti ada bedanya. Lalu apakah sepasang suami istri bisa satu frekuensi? Bisakah? Dua orang yang sangat berbeda bisa jadi satu frekuensi hanya karena menjadi pasangan suami-istri? Yah... Kita belum tahu pasti jawabannya. Masih ada baaaaaaaanyak hal di depan yang harus kita lalui untuk mendapatkan jawabannya.

Masih banyak sekali.
Masih banyak yang harus kita lalui di depan. Apapun yang kita lalui sekarang ini adalah awalnya. Bukankah harusnya kita bersemangat? Karena apapun dan segala hal yang kita alami ini adalah yang pertama kali bagi kita. Lebih spesial lagi karena kita mengalaminya bersama orang spesial. Hehehe...

"Serba pertama!" Kalau kata orang mah.
Pertama kali ini dengan suami.
Pertama kali itu dengan suami.

Aku juga. Sebelum menikah, aku biasanya membatasi diri dengan beberapa hal menyenangkan seperti hiburan, belanja, pergi-pergi, dan sebagainya. Mungkin ini juga alasannya kenapa ada banyak hal baru kutemukan setelah menikah. Keterlaluan sih, jadi ketinggalan jaman, tapi tidak ada yang kusesalkan karena pertama aku mengalaminya justru bersama suami.

Mungkin pengalaman semacam ini akan sangat berharga kalau aku ceritakan kepada teman-teman yang tidak pernah pacaran. Karena setelah ia menikah, semuanya benar-benar akan serba pertama dan menjadi pengalaman yang saaaaangat berharga.

Tapi sayangnya, ada beberapa teman yang ternyata merasa berkecil hati, menganggap dirinya tidak menarik karena tidak punya pacar. Tapi yang lebih kusayangkan adalah ada juga beberapa teman yang mulai menganggap dirinya tidak menarik setelah orang lain mengejeknya yang tidak punya pacar. Well, you are fine, ladies. You are enough. And you are beautiful. Mungkin memang benar bahwa punya pacar itu enak, punya pacar itu jadi merasa dicintai, punya pacar itu jadi merasa aman. But don't hurt yourself with negative thoughts. Love yourself better, ladies.

Kalau sudah butuh status dicintai, ya udah nikah aja. Status terbaik itu sudah. hehehe...

Emang kalau sudah menikah bakal otomatis dicintai?
Hmmm merasa dicintai sih sudah,
tapi sudah dicintai betulan belum ya?
mungkin aku harus tanya dulu sama suamiku. hehehe.

Oh iya, ladies, suatu kali aku pernah bertanya-tanya. Menerima lebih banyak dari apa yang bisa kita berikan, apakah bisa dianggap sebagai hak? Sometimes I doubt myself. Kita yang minim dalam hal pengalaman cinta, tidak benar jika selalu pasif, bukan? Tapi tidak benar juga kalau kita terlalu aktif. Ya udah lah ya ikutin aja flow nya. 

Tapi ladies, entah kamu sependapat denganku atau tidak, tapi menurutku, setelah menikah justru kita harus selalu berusaha lebih keras untuk dicintai. Terlebih jika sebelumnya kamu tidak mencintai dia dan dia tidak mencintai kamu. Bisakah kalian tiba-tiba saling mencintai? Mungkin smiles, kisses and hugs cukup mewakili jawaban untuk pertanyaan ini. Tapi sungguh, Allah SWT dengan memberikan kita ikatan pernikahan dan segala aturannya sudah memberikan jalan dan petunjuk. Kita hanya harus berjalan mengikuti rambu-rambu rumah tangga dan berusaha menemukan jawabannya.

Well, It's okay. Segala warna-warni kehidupan pernikahan itu indah. Mencintai dan dicintai dengan halal dan setiap bagian daripadanya bernilai ibadah. MasyaAllah. Alhamdulillah. 

Sampai di sini dulu sharing kita hari ini. Kita kumpulkan cerita baru dulu untuk sharing berikutnya. hehehe.

Salam! ^^


No comments:

Post a Comment

MY WEDDING ^^

MY WEDDING ^^