Wednesday, August 21, 2013

monolog : sinau !

sinau !

sebuah kata 'magic' dari ibuku yang rutin aku dengar di setiap malam-malamku di rumah. Meski bukan ditujukan padaku, aku cukup kecipratan oleh gelegarnya.

"ahaha" adik kecilku yang masih SD itu malah masih sibuk dengan mainannya. spiderman di tangan kanan dan power ranger di tangan kiri. Dihantamkannya keduanya tepat di depan matanya. Dengan suara dramatis "duamm" yang keluar dari mulut kecilnya. ah dasar anak kecil, tidak paham keadaan.

ibu yang semakin jengkel melihat ulahnya pun kembali berteriak sinau !

lalu, aku yang berjarak tidak jauh dari adikku, tertarik untuk ikut berpartisipasi membujuk si kecil untuk beranjak belajar. Tapi sia. Dia saja tak mendengarkan kata ibuku. Apalagi aku?
Sebuah akal licik mulai menghasutku untuk merebut mainannya. Mungkin saja si kecil mau belajar setelah mainannya kurampas. Dengan satu gerakan kecil, akhirnya mainan itu berpindah ke tanganku.
Dia diam saja dan menatapku. Astaga apa maksudnya?
Lima detik kemudian dia keluarkan senjata andalannya. nangis!
Aduh, aku tidak tega. Akhirnya kukembalikan. dasar anak kecil.

Akhirnya ibuku memilih untuk mengambil sebuah buku. Buku Matematika. Akhirnya Ibu duduk di samping si kecil, menemani belajar sekaligus menemani si kecil bermain
"ngajari cah cilik ki kudu sabar" Ibu berbisik ke arahku. Aku tersenyum simpul. Apa aku dulu kecil juga segitu susahnya disuruh belajar? :)

Bayangan itu begitu saja menyeruak muncul dalam ingatanku. Sesaat setelah baru saja aku melewati toko mainan yang di etalase depannya terpajang mainan kecil power ranger merah,kuning,hijau,hitam,putih (apa lagi tadi yaa)
Mestinya aku sekarang ini juga berkat bimbingan ibu sejak kecil.
satu kata "sinau" yang dulu aku tak begitu paham apa manfaatnya, sekarang begitu nyata memberikanku manfaat setiap waktu. Bahwa betapa pentingnya belajar dan koleksi berbagai ilmu sejak kecil. Ilmu inilah yang menjadi kunci bagiku menggenggam dunia. Duniamu takkan berarti tanpa ilmu. Dan itu semua berawal dari sebuah kata. sinau !

cerpen : Cinta yang Memilih



Mahasiswa kupu-kupu. Mahasiswa kuliah-pulang kuliah-pulang. Entah sampai kapan gelar ini akan menemani setiap langkahku di setiap jalan kampus. Sama sekali belum terpikirkan olehku untuk menyudahi aktifitasku yang hanya itu-itu saja. Bukankah mahasiswa adalah agen atas perubahan. Tapi bagaimana bisa merubah dunia kalau aku hanya belajar di dalam kelas. Lamunan ini terus menggangguku di sepanjang jalan menuju halaman parkir.
“Amanda” dalam lamunanku aku bisa mendengar seseorang memanggil namaku. Tidak,aku tidak merasa dipanggil karena ada lebih dari sepuluh orang bernama Amanda di kampusku. Tidak sampai akhirnya bahuku dikejutkan dengan sebuah tepukan tangan yang padat.
“Kemal. Kenapa?” sedikit kaku lidahku mengucapkan nama itu. Terlebih di depan pemiliknya langsung. Seseorang yang kuduga aku menyukainya. Bintang lapangan yang begitu sulit kugapai. Bahkan kesempatan berbicara dengannya pun tak pernah ada.
“Boleh aku pinjam catatan Kalkulus tadi pagi? Aku tadi terlambat” ucapnya dengan wajah yang tulus walaupun tidak sedang tersenyum. Setiap detik dengan sempurna mataku merekam setiap geraknya. Dan aku akan memperlambat setiap gerakannya untuk menikmatinya dalam ingatanku.
“sebentar,ini” aku mengusahakan senyum maksimalku ketika memberikan bukuku padanya. Tidak begitu buruk karena kulihat Kemal juga menampakkan senyum indahnya. Pemandangan ini pun berakhir ketika Kemal berterimakasih padaku sambil melayangkan tangannya dan berlalu.
Bayangan Kemal masih memenuhi pikiranku sepanjang jalan pulang. Aku sibuk memikirkan alasan Kemal memilih untuk meminjam catatan milikku. Berbagai dugaan indahku menyeruak begitu saja. Tapi perlahan aku tersadar kembali bahwa aku hanyalah mahasiswa polos yang hanya mengenal kelas dan buku. Alasan Kemal memilihku tentu saja karena akulah mahasiswa yang pasti maksimal di kelas. Ah sudahlah.
Jarak kampus ke rumahku tidaklah sedikit. Lamunan indah tadi pun berakhir di tengah jalan. Akupun mulai kembali konsentrasi penuh pada jalan raya yang mulai padat ini. Tiba-tiba segerombol motor dari arah belakang yang terus saling berlomba memainkan klaksonnya mengganggu konsentrasiku. Sambil melihat dari spion motorku, aku menepi ke sisi kiri jalan. Satu-satu dari mereka mulai melewatiku. Aku melirik dengan waswas ketika motor yang terakhir tepat melewatiku. Sebuah kebetulan yang buruk karena pemilik motor itu tidak lain adalah Arial. Bang Arial begitu aku biasa memanggilnya. Mahasiswa semester atas yang konon terkenal sebagai mahasiswa tergalak tahun ini. Daripada gelar itu, sebenarnya aku lebih setuju Bang Arial itu disebut sebagai mahasiswa brandalan. Selalu ada di tiap keributan kampus. Banyak yang menentangnya dan banyak juga yang selalu mencari cara untuk menjebaknya. Namun sia saja, Bang Arial bukan jenis brandalan yang bodoh. Tentu tak bisa dipungkiri kalau ternyata Bang Arial adalah mahasiswa cerdas yang begitu banyak dosen memujinya. Dan sifat brandalannya itu bisa terbayar lunas oleh kecerdasannya yang selalu mengharumkan nama kampus.
 “ah mereka selalu begitu” Begitulah setiap aku pulang sore. Tidak ada seharipun aku menghabiskan jalan ini tanpa keributan motor Bang Arial dan teman-temannya itu. Akhirnya sisa jalan ini aku habiskan untuk menyesalinya.Ya, aku tau persis bagaimana sifat bang Arial di luar kampus bahkan di rumahnya. Rumahnya hanya berjarak 2 rumah dengan rumahku.
Aku memperlambat laju motorku ketika tidak sengaja mendapati sosok Kemal di depan rumah Nadia,teman dekatku yang kuliah kedokteran di Bandung. Nadia baru saja keluar rumah saat aku mau menyapanya. Namun tertunda saat kudengar Kemal memanggilnya lebih dulu. Tapi aku memutuskan untuk tidak jadi menyapanya setelah tersaadar kemal memanggilnya dengan sapaan ‘sayang’. Aku kecewa dengan sempurna. Kuputuskan untuk mempercepat kembali laju motorku. Melakukan adegan patah hati yang dramatis.
“Aku memang tidak bakat dalam urusan beginian” kataku merutuki diri saat sampai di depan rumah. Setengah sadar kugerakkan kepalaku menoleh sebentar ke rumah Bang Arial. Aku masih ingat saat ospek dulu tiba-tiba Bang Arial memukul Dimas,temanku yang waktu itu berbaris tepat di belakangku. Kebetulan Bang Arial termasuk panitia ospek di tahun awalku jadi mahasiswa di kampus. Aku yang masih polos itu terang saja menangis saat melihatnya, walaupun hanya tersedu. Yang masih tidak kumengerti adalah waktu itu aku mendengarnya berbisik ‘maaf’ ke arahku.
“Amanda, kamu ngapain disitu terus” ternyata mama sudah pulang dari kantor. Ya, orang tua tunggal yang bekerja keras setiap hari demi anak tunggalnya.
“Ma, kenapa aku selalu gagal jatuh cinta” tanyaku polos di dalam pelukannya. Berapapun usiaku, aku tetaplah seorang gadis kecil di depan mama. Mama tau betul aku orang yang tertutup dan hanya dialah yang menyaksikan setiap rinci ceritaku.
“kamu tidak gagal,sayang. Kamu cuma diuji sebelum cinta yang memilihmu itu datang” katanya sambil membelai rambut panjangku berulang kali. Aku selalu membenarkan semua yang ia katakan. Terlepas dari kenyataan bahwa ia memang orang tuaku, ia berkata apapun juga pasti karena ia pernah mengalaminya.
Ketika bintang malam datang, aku selalu memilih belajar di taman rumah. Di atas meja dan kursi taman ini aku melukiskan semua cita-citaku. Mengalir dalam tinta penaku yang menjawab semua butir soal pertanyaan dengan jawaban sempurna.
Hari baru dengan rasa baru. Bagiku begitu mudah menyembuhkan luka patah hati kemarin. Kemal mengembalikan buku catatanku dengan wajah seperti bagaimana biasanya dirinya. Yang berbeda hanyalah aku. Aku tak lagi berdesir melihatnya walaupun aku masih terpukau dengannya ketika ia berlari di lapangan dan menggiring bolanya.
“Manda” Aku menelan ludah mendapati Bang Arial menghampiriku saat aku keluar dari kelas Kalkulus. Samar kulihat bagian telinga kanannya agak lebam dengan sedikit darah di ujung bibir kiri. Jelaslah aku tak perlu tanya. Bang Arial habis berkelahi.Lagi.
“Ada apa bang?” tanyaku kaku. Bang Arial selalu menghindariku di kampus. Atau mungkin aku yang tidak sadar menjauhinya selama di kampus. Entahlah.
“Kamu harus pulang denganku. Nggak perlu tanya kenapa” dengan satu gerakan, dia membimbingku berjalan tepat di depannya. Ekor mataku bisa menangkap gerakannya mengawasi sekitar. Firasat buruk menguasai pikiranku.
“Aku mau pulang sendiri” kataku setengah berteriak saat kami sampai di halaman parkir. Beberapa temanku mulai memasang mata ke arah kami. Mungkin beberapa heran bagaimana bisa Bang Arial bisa dibentak oleh mahasiswa tulen yang sama sekali tak punya tampang brandalan sepertiku. Biarlah.
“oke,oke” dia pergi.
Akhirnya tinggal aku. Sedikit merasa aneh tapi sebisa mungkin kubuat santai. Selepas dari kampus, perjalanan pulangku baik-baik saja sampai di tengah jalan dan aku yakin tidak ada yang perlu dicemaskan. Sedikit merasa kehilangan karena sudah sampai di lampu merah terakhir, tapi Bang Arial dan teman-temannya tidak juga kelihatan di jalan ini. Sambil menunggu lampu merah menjadi hijau, tiba-tiba aku mendengar segerombol motor dari arah belakang. Karena kukira itu adalah Bang Arial, aku memberanikan diri menoleh ke belakang. Tapi ternyata bukan. Orang yang berada di paling depan adalah Arman, orang yang pernah terlibat perkelahian hebat dengan Bang Arial. Arman tidak menyadari keberadaanku. Aku kembali melihat ke depan. Sedikit melihat ke spion, seseorang di belakangnya membisikkan sesuatu kepadanya dan aku mulai takut.
Lampu hijau. Aku mempercepat jalannya motorku. Namun mereka membuntutiku. Sebelumnya aku tak pernah merasa terancam seperti ini. Tapi sudahlah. Aku hanya ingin cepat sampai rumah.
Sesampaiku di depan rumah. Aku segera membuka gerbang depan rumah tapi ternyata mereka datang dan kini sudah tepat di depanku sebelum aku berhasil membuka kunci gerbang.
“kau Amanda kan?” Arman memberiku pertanyaan yang sungguh tidak perlu kujawab. “Dimana rumah Arial?” pertanyaan yang langsung ke inti. Tanpa basa-basi. Aku jelas tak mau menjawabnya. Bagaimanapun Arman dan Arial adalah brandal kampus yang sama kuat. Arman pasti berniat tidak baik padanya.
“Maaf kak. Aku tidak tau” jawabku sambil kembali berusaha membuka kunci gerbang.
“Dimana rumah Arial?” setengah berteriak, Arman berteriak di telingaku.
Tiba-tiba Bang Arial dan teman-temannya datang. Entah mereka muncul dari mana, kecemasanku sudah menguasai akal sehatku. Bang Arial menyuruhku masuk ke dalam rumah dan aku menurut. Dari dalam rumah aku menyaksikan lagi perkelahian besar kedua Bang Arial dengan Arman. Mataku tak pernah lepas dari sosok Bang Arial. Dadaku merasakan perihnya ketika pukulan Arman mendarat di mulut Bang Arial. Teringat akan bekas lukanya tadi sore. Sekarang justru kena hantam lagi. Pasti sakit sekali. Aku menangis sejadinya. Kenapa masih ada saja pertengkaran semacam ini.
“Kak Arman,hentikan” aku buka pintu rumah dan meneriakinya. Tepat ketika Arman menoleh ke arahku, Bang Arial menghantam wajahnya. Seketika perkelahian itu usai, Arman dan teman-temannya pergi.
“maafkan aku kau harus melihatnya lagi. Apapun yang kulakukan, aku hanya ingin melindungimu. Setelah mereka tau kau mengenalku,mungkin akan ada yang lebih lagi dari ini. Tapi aku bakal selalu ada di dekatmu. Aku nggak bakal biarin mereka menyentuh kamu sedikitpun. Aku sayang kamu,Amanda. Percayalah, kita bakal baik-baik aja” katanya sambil merengkuhku sangat dalam. Jauh di dalam pelukan dan dalam hatinya. “Mama, cinta datang merengkuhku” bisikku.



^^cerpen yang kukarang selama kurang lebih 2 jam ini akhirnya selesai. Entah ada inspirasi apa tadi. Cuma iseng. Maklum kalo jadinya agak panjang :D *happyReading #ThanksForReading :)

Sunday, August 18, 2013

Cerpen : Pentolan Hitam Putih



Bagaikan bintang sungguhan, aku selalu menantikan malam yang tenang. Karena malam selalu berpihak kepadaku. Hadirkan sketsa hitam putih di atas langit yang disanalah cahayaku berkreasi. Menggambarkan apapun yang kucitakan. Tanpa batas.

Tangan kananku sedang membenarkan letak kacamataku sebelum tiba-tiba sebuah bola basket yang entah dari mana melayang ke arahku. Sebuah gerakan lincah kepalaku berhasil menghindari ancaman itu. Sedikit senyuman bangga menghiasi wajahku sambil terus melangkah menuruni tangga GOR.
“aduh” suara berat itu merusak rasa banggaku. Sepertinya bola tadi menghantam seseorang walaupun sebenarnya aku yakin tadi tidak ada orang di belakangku. Dengan cemas aku berbalik dan kini rasa kaget membuat mataku melotot besar sekali. Menyadari pemilik suara berat itu adalah Galang si pentolan kampus, aku berniat pergi sebelum dia menyadari keberadaanku.
Terlambat. “Hei kau” Galang sudah berdiri dan mencengkeram bola itu. Sorot matanya dengan teliti menangkap sosokku dalam lingkup pengihatannya. Mata yang selalu terlihat buas walaupun tidak melotot. Ini adalah kali pertama aku berhadapan langsung dengannya.
“Aku cuma menghindar kok, jadi Kak Galang yang kena” aku berniat membela diri namun tanpa sadar suaraku semakin bergetar saat tatapan tajamnya jatuh tepat di retina mataku. Melahirkan bayangan buruk saat aku pernah beberapa kali mendengarnya terlibat kasus keributan mahasiswa.
“jago mengelak kau rupanya” Galang berjalan maju dengan bola di tangannya. Mungkin inilah yang baru pantas disebut takut. Cemas akan apa yang akan dilakukannya di setiap hitungan detik ke depan.
“Aku nggak takut” jawabku pendek sambil mendongakkan kepala ke arahnya yang memang lebih tinggi dariku.
“Bintang, kesini cepat” Akhirnya Ajeng dari tim basket memanggilku di saat aku kebingungan mencari cara untuk kabur dari Galang. Seisi kampus akan gempar kalau mahasiswa tulen sepertiku sampai berurusan dengan mahasiswa liar sepertinya. Aku pun segera berlalu dari hadapannya.
Galang melempar bola dengan keras ke tengah lapangan basket di GOR kampus ini. Semua dinding GOR pun saling berlomba menyuarakan suaranya bersamaan dengan suara-suara manusia di setiap penjuru ruangan luas ini. Sepintas aku melihatnya diam dalam senyuman dan siapa sangka mungkin itulah yang disebut senyuman kebencian. Tapi aku tak mau ambil pusing karena memang aku tidak salah di sini. Aku akan merasa bersalah kalau aku minta maaf.
“Ajeng, ada apa?” tanyaku spontan begitu sampai di sebelah Ajeng.
“Kamu tau siapa yang tadi sama kamu di atas?”  tanyanya sambil menyipitkan mata yang sama sekali tak kumengerti apa maksudnya.
“Aku tau. Itu Galang si pentolan kampus kan” jawabku dengan nada bicara yang kelewat datar.
“ah sudahlah, yang penting aku berhasil menyelamatkanmu dari kemungkinan Kak Galang mukul kamu” katanya lega sambil mengelus dada. Dalam diam aku membenarkan ucapan Ajeng. Mungkin Ajeng lebih tau bagaimana Galang karena dulu Galang juga aktif di basket kampus. “diam di sini, tonton aku dan jangan dekat-dekat dengan pentolan kampus itu lagi,ok?” instruksi dari Ajeng sudah seperti omelan ibu rumah tangga saja. Kemudian dengan seksama aku menikmati permainan basket Ajeng dan teman-temannya dari bangku dekat lapangan, bukan dari atas seperti biasanya.

Rasa penasaran kini mulai mendorong mataku menyapu sekeliling untuk mencari sosoknya. Karena kau tidak akan tau seseorang kecuali kau melihatnya dengan matamu sendiri.

Di sinilah aku sekarang. Berdiri di dekat pintu belakang GOR. Pintu yang menyembunyikan sebuah lapangan sepak bola dengan hamparan rumput hijaunya yang luas. Melihat Galang menendang bola dengan gagah membuatku tidak habis pikir kenapa seringkali dia memilih menjadi brutal. Menurutku dia lebih baik begini. Dengan tawa yang menghiasi wajahnya dan tidak dengan tatapan seram seperti saat ia berjalan.
Namun semua yang kulihat baru saja langsung sirna karena Galang menyadari pengintaianku. Aku bersembunyi di balik pintu sebentar dan kembali mengintai sedikit tapi tidak lagi kudapati sosok Galang di semua sisi lapangan. Dengan ragu aku kembali ke bangku tempat aku duduk tadi.
“Bintang,awas” suara keras itu menyadarkanku dari lamunan kosongku. Entah apa yang terjadi, badanku jatuh dari bangku setelah sebuah bola keras mengenai tepat di antara kedua mataku. Aku masih bisa sedikit mendengar semua orang meneriakkan namaku ketika pandanganku menjadi semakin gelap. Mungkin inilah yang disebut pingsan karena aku yakin aku belum mati.

Dari begitu banyak jenis buku yang kubaca, semuanya memiliki pengetahuan manis yang bisa kuambil. Masing-masing buku pun mempunyai daya tarik yang berbeda setiap aku membacanya. Hingga akhirnya aku tau karakter manusia pun tak ubahnya seperti perbedaan daya tarik dan cara pemaparan di setiap buku itu. Kau tidak akan tau kecuali setelah kau menghadapinya sendiri dan merasakan sendiri perbedaan tiap karakter.

“Halo” aku menjawab telpon dari Ajeng sesaat setelah aku terbangun dan sadar aku sudah di rumah. Lebih tepatnya di kamarku sendiri.
“Halo Bintang, kamu sudah di rumah? Bagaimana kau baik-baik saja kan?” seperti biasanya Ajeng adalah orang yang pertama menelfonku kalau aku sakit atau absen dari kegiatan kampus.
“iya aku udah sadar lagi kok” jawabku sambil tersenyum riang walaupun aku tau lewat telfon, Ajeng tak akan bisa melihatnya.
“Maksudku bukan itu Bintang, kamu nggak disakitin lagi sama Kak Galang kan? Kak Galang nganterin kamu selamat sampai rumah kan?” arah perbincangan mulai terdengar serius. Aku tidak banyak bertanya ataupun menjawab. Karena Ajeng mulai bercerita kronologi sejak aku pingsan sampai akhirnya Galang yang mengantarku pulang. “Oya, dia juga telfon aku pake hp kamu buat tanya alamat rumah kamu” Ajeng masih bicara panjang lebar dan aku tetap dengan seksama mendengarkannya.
“hah?” aku kaget begitu melihat ada sms masuk dari nomor asing “terimakasih untuk tidak takut padaku. Galang
“Bintang, ada apa?” seru Ajeng dari seberang telfonku.
“tidak, tidak apa-apa kok” kataku dengan cepat kembali menguasai diri.

Aku seperti melihat sisi lain yang semakin tidak kumengerti darinya. Karena dirinya bisa terlihat begitu normal dengan orang-orang yang menerimanya, sebagai teman. Dan biar bagaimanapun, aku yakin bahwa apapun yang dilakukannya, sebenarnya dia adalah orang baik. Hanya saja dia tak bisa menunjukkannya.



#setelah memilah cerpen mana yang mau aku posting ke blog, akhirnya terpilih cerpen ini deh . cerpen yang tidak dipublikasikan berarti ada kaitannya erat sama kehidupan pribadi aku sebagai penulis, jadi kok kelihatannya kurang pas aja kalau buat di publikasi :) #Happy Reading #selamat membaca #terimakasih untuk membaca :)

Thursday, August 1, 2013

sharing : Agustus



Sejak putus dengan cinta pertamaku, aku sempat berpikir untuk tidak terlalu mengindahkan rasa apapun terhadap siapapun. Sampai akhirnya dengan tidak sengaja aku mengagumi sebuah sosok cerdas yang tak kusadari menarik perhatianku. Tak seorangpun kubiarkan mengetahui rasaku ini. Namun perlahan kekagumanku justru membunuhku. Karena sosok itu terlalu sulit untuk kutangkap. Hanya berhenti di tahap perkenalan yang sangat biasa. Aku bukanlah orang yang mudah sukses dalam hal percintaan. Dan kisah ini pun membuktikannya.


karyaku di awal agustus ini sebentar lagi selesai sudah, ini hanya cuplikan dari cerita pendek yang aku tulis di awal agustus ini. dan aku sendiri tak sabar menantikannya :)

puisi : kau = luka



Mengenangmu adalah luka
Luka yang kau torehkan sendiri untuk kisah kita
Entah apa yang membuatmu begitu jahat
Setelah semuanya berhenti pada akhir

Menerimamu adalah ujian
Yang kau balikkan menjadi kesalahan
Yang kau sesalkan telah terjadi
Tanpa kau berpikir
Ada aku yang terluka olehmu

Dari awal seringku bercerita
Tak akan mudah adanya
Namun segalanya berubah jadi sia
Karena sesal itu datang dan hancurkan semuanya



^^nggak bakat sih bikin puisi. But well, ini iseng semata. Namanya juga inspirasi kalo nggak cepet-cepet dituangkan jadi karya,bisa basi. Basi karna nggak dimanfaatin, sayang kan kalo terlewat gitu aja (:

MY WEDDING ^^

MY WEDDING ^^