Aldebaran
Risjad (Ale) dan Tanya Baskoro (Anya) pertama kali bertemu di dalam pesawat
penerbangan Jakarta – Sydney. Benar saja, konsep critical eleven tidak hanya berlaku pada keselamatan penumpang di
dalam pesawat, tetapi sama halnya dengan sebuah pertemuan.
Ini
adalah pertama kalinya Anya duduk bersebelahan dengan seorang pria keren, bukan
kakek-kakek atau bahkan anak kecil yang merepotkan. Tiga menit pertama, Anya
mengakui pesona Ale begitu memikat. Let
your guard down and let yourself fall for something as random as a stranger’s
smile. Setelah melalui detik-detik canggung atau bahkan momen ketika Anya
tertidur di pundak Ale, akhirnya obrolan renyah itu bisa mengalir dan mereka
pun menikmatinya. Sampai pada akhirnya, di delapan menit sebelum berpisah, Ale
berhasil mendapatkan nomor Anya.
Kembali
ke kehidupan masing-masing, Ale adalah Petroleum Engineer sedangkan Anya adalah
seorang Management Consultant. Pekerjaan yang sama-sama sibuk, tentu saja. But thanks to the critical eleven sisa
pertemuan pertama mereka, dalam kesibukan mereka pun tak bisa dipungkiri bahwa
diam-diam mereka saling memikirkan satu sama lain.
Pekerjaan
Ale tak memungkinkan untuk berkomunikasi dengan orang berjarak jauh, apalagi
seseorang seperti Anya yang tinggal di Jakarta. Akhirnya Ale baru memutuskan untuk
menghubungi nomor Anya saat dia pulang ke Jakarta, berharap Anya belum
melupakannya.
Hubungan
mereka berkembang cepat karena tak lama setelah itu Ale dan Anya berpacaran dan
tak lama kemudian, Ale melamar Anya. Tidak dengan cara yang romantis, tetapi
siapa sangka cincin yang Ale gunakan untuk melamar Anya adalah cincin yang
sangat mahal sampai menguras kantung uangnya.
Sebuah
pernikahan yang bahagia, semakin sempurna ketika Anya mengandung anak
pertamanya. Aidan, mereka bahkan sudah menyiapkan nama untuk calon bayi
laki-laki kesayangan mereka itu. Kebahagiaan mereka rayakan dengan semangat,
seperti membuat kamar kecil di dekat kamar utama spesial untuk sang buah hati.
Perdebatan kecil sering terjadi terkait pemilihan gaya/desain interior untuk
kamar si kecil, namun bukanlah masalah karena itulah sensasinya.
Namun
keluarga yang bahagia bukanlah keluarga yang selalu terlihat harmonis tanpa
adanya masalah keluarga. Tapi siapa sangka, masalah keluarga Ale dan Anya
timbul sejak Kepergian Aidan. Ya, buah hati kesayangan mereka. Dan tentu saja
tidak ada orang tua yang tidak sedih kehilangan anaknya. Ale dan Anya, keduanya
berduka, berduka dengan cara yang berbeda, dengan cara mereka masing-masing.
Sebuah
kata-kata yang tak sengaja keluar dari mulut Ale membuat Anya terluka. Bukan
karena Ale mengatakannya dengan kasar, akan tetapi kata-kata tersebut cukup
mengiris hati sensitif Anya yang kehilangan darah dagingnya yang selama ini ia
kandung sendiri. Anya terlalu terluka, bahkan suaminya sendiri menyalahkannya
atas kepergian Aidan. Ale menyadari kesalahannya, namun terlambat baginya untuk
menarik ucapannya. Bahkan sulit baginya untuk meminta maaf. Anya terlanjur
tersakiti hatinya.
Tanpa
banyak kata, hubungan Ale dan Anya semakin sulit untuk dideskripsikan sebagai
suami istri. Dalam enam bulan sejak Kepergian Aidan, mereka hanya tampak
seperti seorang pria dan wanita yang tinggal di rumah yang sama. Hanya cincin
yang masih menempel di jari manis merekalah yang menandakan kalau mereka suami
istri. Mereka bahkan pisah kamar, begitulah yang diminta oleh Anya dan Ale pun
menuruti permintaannya.
Seiring
kebisuan yang tak terelakkan itu, perlahan keduanya saling mempertanyakan critical eleven pada pertemuan pertama
mereka sekaligus keputusan-keputusan yang membuat mereka sampai di titik ini.
Ale kehilangan Anya yang dulu. Anya kehilangan Ale yang dulu. Jauh di dalam
hati, mereka saling merindu. Hanya saja, keduanya memiliki batas yang membuat
mereka tak bisa berbagi zona nyaman dan kembali menjalin hubungan layaknya
keluarga yang bahagia dan harmonis.
Ketegangan
hubungan Ale dan Anya sepertinya sedikit mencair pada hari ulang tahun Ale yang
ke-33. Anya dimintai tolong oleh adik Ale untuk berkontribusi dalam kejutan
ulang tahun yang dicetuskan olehnya. Anya yang tak ingin masalah keluarganya
diketahui banyak orang akhirnya mengiyakan tawaran itu. Di situlah, setelah sekian
lama, Anya harus memerankan peran istri yang sangat bahagia memiliki suami
seperti Ale. Rupanya momen ini dimanfaatkan oleh Ale, setelah semua orang
pulang, Ale memberanikan diri menerobos benteng pertahanan Anya dan menumpahkan
segala rasa kerinduan yang selama ini dipendamnya.
Ale
puas, ia lega. Setidaknya, dia mulai memiliki keberanian untuk menunjukkan lagi
keinginannya untuk berbaikan dengan istrinya, Anya. Namun sebaliknya, Anya
semakin bingung dengan keadaannya. Di satu sisi, ia mulai mengakui kerinduannya
yang tak terelakkan itu kepada suami yang dikasihinya. Tapi di sisi lain ia
takut, ia khawatir bagaimana jika ia harus terluka lagi, bagaimana jika
suaminya menyakitinya lagi. Ia belum siap.
“Orang
yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci
kesembuhan kita,” sepertinya kata-kata ini benar adanya.
Dengan segala upaya,
rasa benci, rasa rindu, semuanya beradu merontokkan keraguan demi keraguan di
benak keduanya. Bersamaan dengan satu persatu fakta mengejutkan yang muncul di
hadapan keduanya, akhirnya mereka menemukan titik terang yang menuntun untuk
kembali mewujudkan keluarga yang harmonis. Siapa sangka, titik terang yang
menuntun hati Anya adalah hadirnya jiwa baru di dalam perutnya, adik Aidan.