Friday, October 28, 2016

Resensi : Novel Critical Eleven by Ika Natassa



Aldebaran Risjad (Ale) dan Tanya Baskoro (Anya) pertama kali bertemu di dalam pesawat penerbangan Jakarta – Sydney. Benar saja, konsep critical eleven tidak hanya berlaku pada keselamatan penumpang di dalam pesawat, tetapi sama halnya dengan sebuah pertemuan.


Ini adalah pertama kalinya Anya duduk bersebelahan dengan seorang pria keren, bukan kakek-kakek atau bahkan anak kecil yang merepotkan. Tiga menit pertama, Anya mengakui pesona Ale begitu memikat. Let your guard down and let yourself fall for something as random as a stranger’s smile. Setelah melalui detik-detik canggung atau bahkan momen ketika Anya tertidur di pundak Ale, akhirnya obrolan renyah itu bisa mengalir dan mereka pun menikmatinya. Sampai pada akhirnya, di delapan menit sebelum berpisah, Ale berhasil mendapatkan nomor Anya.

Kembali ke kehidupan masing-masing, Ale adalah Petroleum Engineer sedangkan Anya adalah seorang Management Consultant. Pekerjaan yang sama-sama sibuk, tentu saja. But thanks to the critical eleven sisa pertemuan pertama mereka, dalam kesibukan mereka pun tak bisa dipungkiri bahwa diam-diam mereka saling memikirkan satu sama lain. 

Pekerjaan Ale tak memungkinkan untuk berkomunikasi dengan orang berjarak jauh, apalagi seseorang seperti Anya yang tinggal di Jakarta. Akhirnya Ale baru memutuskan untuk menghubungi nomor Anya saat dia pulang ke Jakarta, berharap Anya belum melupakannya.

Hubungan mereka berkembang cepat karena tak lama setelah itu Ale dan Anya berpacaran dan tak lama kemudian, Ale melamar Anya. Tidak dengan cara yang romantis, tetapi siapa sangka cincin yang Ale gunakan untuk melamar Anya adalah cincin yang sangat mahal sampai menguras kantung uangnya.

Sebuah pernikahan yang bahagia, semakin sempurna ketika Anya mengandung anak pertamanya. Aidan, mereka bahkan sudah menyiapkan nama untuk calon bayi laki-laki kesayangan mereka itu. Kebahagiaan mereka rayakan dengan semangat, seperti membuat kamar kecil di dekat kamar utama spesial untuk sang buah hati. Perdebatan kecil sering terjadi terkait pemilihan gaya/desain interior untuk kamar si kecil, namun bukanlah masalah karena itulah sensasinya.

Namun keluarga yang bahagia bukanlah keluarga yang selalu terlihat harmonis tanpa adanya masalah keluarga. Tapi siapa sangka, masalah keluarga Ale dan Anya timbul sejak Kepergian Aidan. Ya, buah hati kesayangan mereka. Dan tentu saja tidak ada orang tua yang tidak sedih kehilangan anaknya. Ale dan Anya, keduanya berduka, berduka dengan cara yang berbeda, dengan cara mereka masing-masing.

Sebuah kata-kata yang tak sengaja keluar dari mulut Ale membuat Anya terluka. Bukan karena Ale mengatakannya dengan kasar, akan tetapi kata-kata tersebut cukup mengiris hati sensitif Anya yang kehilangan darah dagingnya yang selama ini ia kandung sendiri. Anya terlalu terluka, bahkan suaminya sendiri menyalahkannya atas kepergian Aidan. Ale menyadari kesalahannya, namun terlambat baginya untuk menarik ucapannya. Bahkan sulit baginya untuk meminta maaf. Anya terlanjur tersakiti hatinya.

Tanpa banyak kata, hubungan Ale dan Anya semakin sulit untuk dideskripsikan sebagai suami istri. Dalam enam bulan sejak Kepergian Aidan, mereka hanya tampak seperti seorang pria dan wanita yang tinggal di rumah yang sama. Hanya cincin yang masih menempel di jari manis merekalah yang menandakan kalau mereka suami istri. Mereka bahkan pisah kamar, begitulah yang diminta oleh Anya dan Ale pun menuruti permintaannya. 

Seiring kebisuan yang tak terelakkan itu, perlahan keduanya saling mempertanyakan critical eleven pada pertemuan pertama mereka sekaligus keputusan-keputusan yang membuat mereka sampai di titik ini. Ale kehilangan Anya yang dulu. Anya kehilangan Ale yang dulu. Jauh di dalam hati, mereka saling merindu. Hanya saja, keduanya memiliki batas yang membuat mereka tak bisa berbagi zona nyaman dan kembali menjalin hubungan layaknya keluarga yang bahagia dan harmonis.

Ketegangan hubungan Ale dan Anya sepertinya sedikit mencair pada hari ulang tahun Ale yang ke-33. Anya dimintai tolong oleh adik Ale untuk berkontribusi dalam kejutan ulang tahun yang dicetuskan olehnya. Anya yang tak ingin masalah keluarganya diketahui banyak orang akhirnya mengiyakan tawaran itu. Di situlah, setelah sekian lama, Anya harus memerankan peran istri yang sangat bahagia memiliki suami seperti Ale. Rupanya momen ini dimanfaatkan oleh Ale, setelah semua orang pulang, Ale memberanikan diri menerobos benteng pertahanan Anya dan menumpahkan segala rasa kerinduan yang selama ini dipendamnya.

Ale puas, ia lega. Setidaknya, dia mulai memiliki keberanian untuk menunjukkan lagi keinginannya untuk berbaikan dengan istrinya, Anya. Namun sebaliknya, Anya semakin bingung dengan keadaannya. Di satu sisi, ia mulai mengakui kerinduannya yang tak terelakkan itu kepada suami yang dikasihinya. Tapi di sisi lain ia takut, ia khawatir bagaimana jika ia harus terluka lagi, bagaimana jika suaminya menyakitinya lagi. Ia belum siap.

“Orang yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita,” sepertinya kata-kata ini benar adanya. 
Dengan segala upaya, rasa benci, rasa rindu, semuanya beradu merontokkan keraguan demi keraguan di benak keduanya. Bersamaan dengan satu persatu fakta mengejutkan yang muncul di hadapan keduanya, akhirnya mereka menemukan titik terang yang menuntun untuk kembali mewujudkan keluarga yang harmonis. Siapa sangka, titik terang yang menuntun hati Anya adalah hadirnya jiwa baru di dalam perutnya, adik Aidan.

No comments:

Post a Comment

MY WEDDING ^^

MY WEDDING ^^