Thursday, June 29, 2017

hot chocolate and a cup of coffee (3)


secangkir coklat panas,
secangkir kopi,
selera kita seratus delapan puluh derajat berbeda ya.

***

Sekarang aku tahu, kenapa kita ditakdirkan bertemu. Bukan untuk jatuh cinta, you know my love just can't suit your taste, tapi untuk saling memberikan pelajaran. Pengalaman, lebih tepatnya.


Kopi yang kau suka, pada dasarnya pahit. Tapi kau bilang ada rasa manis yang diam-diam muncul saat kau menyeruputnya. Pun coklat panas yang aku suka, rasanya tentu manis, tapi siapa sangka kalau coklat itu sebenarnya juga mengandung rasa pahit di dalamnya. Tapi apa kau tahu? kita juga sama saja seperti mereka.

Sebut saja sebagai rahasia. Aku punya, kamu juga punya. Yang namanya rahasia, tentu adalah apa yang kita ingin sembunyikan. Tak ingin ada siapapun yang mengetahuinya. Memang benar, begitulah prinsip sederhananya. Berlaku juga untuk rahasiaku, dan juga rahasiamu. Anggap saja jackpot saat tiba-tiba atau tanpa sengaja kita tahu rahasia orang lain yang menguntungkan kita. Tapi sebaliknya, ada rahasia yang bisa jadi sumber kekecewaan bila kita mengetahuinya. Nah, artinya setiap rahasia memiliki alasan dan tujuannya sendiri-sendiri.

Kejutan, adalah apa yang kudapat saat mengetahui bahwa kopi juga punya sisi manis, dan coklat juga punya sisi pahit.Tapi sesal, adalah apa yang kudapat saat mengingat kesan kali pertama kita bertemu. Sebuah masa lalu, dimana melihatmu saja membuatku tahu, rahasiaku dan rahasiamu begitu mirip.

Hari itu, kita sedang kelelahan, ingat? Karena aku dan kamu baru saja terbangun dari mimpi buruk yang panjang. Tapi kau tahu apa yang paling aku sesalkan? hari itu adalah kali pertama kita bertemu, tapi kita sudah saling membenci tanpa alasan. Kebencian yang membuatku takut, membuatmu jadi kelemahanku dan cukup kuat juga membuatku menjadi kelemahanmu.

Kopi dan coklat, sering berdampingan kan? Tapi hanya sebatas itu saja. Mereka tak bisa dipadukan dalam satu cangkir yang sama. Seperti itulah kita. Seberapa kuat usaha kita saling menghindar, ada kalanya kita bertemu di meja yang sama.

Melelahkan bukan?

Tapi proses itulah yang membuat kita belajar. Bahwa kita saling membenci bukan tanpa alasan. Kita hanya tidak ingin terluka, lagi. Tapi aku lega, karena kamu sekarang menerimaku menjadi seperti kopi yang kau suka. Dan aku juga menerimamu seperti coklat yang aku suka. Maksudku kita menjadi teman minum yang dekat, tapi juga tidak terlalu dekat.

Entahlah.

With it own taste, and some hidden part that left behind.

Tapi gagal jatuh cinta, sungguh kisah yang konyol bukan? Tidak kusangka, hari ini akan datang juga. Hari dimana kita bisa menertawakan masa lalu sebelum dan saat pertama kali kita bertemu. Well, we only didn't have a clue. Kita hanya kebetulan bertemu dan menjadi orang pertama yang cocok untuk menjadi pelampiasan.




Orang bilang, untuk menyembuhkan sakit hati, kita harus mencintai hati yang baru. Tapi itu tidak berlaku bagi kita ya? Karena kita sudah berhasil melepaskan diri dari bayangan mimpi buruk itu, sebelum menemukan hati baru untuk dicintai. Tanpa sadar, it makes me don't need somebody else but you.

Tapi kenyataan bahwa kita tidak harus jatuh cinta untuk menjadi sedekat ini, sungguh diluar dugaan bukan? Mengaku saja. Aku tahu kamu setuju dengan pendapatku ini. 

Tapi tahu tidak? Semua temanku tidak percaya bahwa kita berteman. Seorang laki-laki dan seorang perempuan tidak bisa berteman, mereka bilang. Bagaimana ini? Aku mulai takut mereka akan mendorongku untuk jatuh ke pesonamu.

Sesaat aku berpikir. Ada yang salah. Benarkah aku sudah memperbaiki keadaan? Bagaimana kalau ternyata selama ini kita hanya terus melarikan diri? Membenamkan diri dalam kekerabatan yang semu dan nikmatnya minuman yang mengalihkan perhatian kita.

Tapi mungkin kita akan baik-baik saja kan? karena kita sama-sama ingin satu akhir yang sama, that is what we call as happy ending.

Melihat coklat panasku berjejeran dengan kopi kesukaanmu, seperti melihat cerminan diriku sediri dengan dirimu yang kini ada di dekatku. We stuck but that's really better than when we're apart, with the heart full of hatred.

***

Kita hanya sama-sama benci terluka.

Saturday, June 10, 2017

a book like you


Today, I love it even more.
a book like you.

---

Setiap orang punya ceritanya sendiri.
Tentu saja. Seperti  perpustakaan ini, penuh berisi buku dengan berbagai macam genre dan cerita yang berbeda. Dari sampul luarnya saja, masing-masing memiliki kesannya sendiri-sendiri. Apalagi dalamnya. Yah, mengingat bahwa sampul sebuah buku memang didesain untuk menggambarkan karakter dan isi cerita dalam bukunya sih

Tapi ingat kan? Ada istilah Don't jugde a book by its cover. Yah terlepas dari tujuan bahwa istilah itu hanyalah sebuah perumpamaan agar kita tidak menilai sesuatu atau seseorang dari luarnya saja, tapi kuakui itu memang benar. Karena tak jarang aku merasa tertipu. Baik oleh sampul buku, maupun sampul seseorang.

Sampul seseorang? Haha. Maafkan aku, apa yang aku coba katakan adalah penampilan seseorang.


Seperti buku yang sekarang berada di tanganku ini. Sampul buku ini terlihat rumit, tak heran kalau awalnya aku berpikir bahwa cerita yang disajikan di dalamnya akan rumit dan penuh konflik. Namun siapa sangka? Setelah kubaca secara keseluruhan, ternyata buku ini memiliki cerita yang lebih renyah dari yang kubayangkan. Enteng dan sederhana. Membuatku suka, tanpa harus bertanya-tanya.

Buku-buku seperti itulah yang selalu mengingatkanku tentangmu. Kamu banget! Kamu yang dulu selalu terlihat calm dan plain, ternyata menyimpan banyak warna yang indah. Warna yang indah akan sia-sia kan kalau disimpan sendiri? Well, setidaknya sekarang kau sudah berbeda. Bedanya, sekarang ada aku. Ada aku yang kau bagi semua warna yang kau punya. Ada aku yang kau bawa ke zona nyaman yang kau jaga. Ada aku yang kau buat berbunga-bunga tanpa harus jatuh cinta.

Expectation. That's it.
Dalam memilih seseorang sebagai teman baru, bagiku sama seperti memilih sebuah buku untuk dibaca. Aku selalu menebak dan menerka-nerka dari luarnya, dan kau melihat detailnya. Walaupun kita berakhir bukan seperti yang kita rencanakan dulu, tapi ternyata kita adalah partner yang cocok, bukan?

See? We’re fallen for each other.
But hey, ayolah. Tidak perlu sungkan begitu. Toh aku sudah tahu aslinya kamu.

Di perpustakaan sebesar ini, kali itu adalah pertama kalinya aku tahu buku seperti apa yang sebenarnya kusukai. Beruntung, begitu banyak buku yang mirip dengan kamu di sini. Kebetulan yang menyenangkan bukan? Mengingat di sini pula pertama kali kita bertemu. dan saling berebut satu buku yang sama.

Ah, benar juga. Perpustakaan itu sama seperti toko buku. Tempat buku-buku saling bertemu dan menjadi keluarga di satu atap atau bahkan di satu rak yang sama. Tempat buku-buku berjejer rapi dan berharap ditemukan atau dibeli oleh pembaca yang menyukainya dan setia menantikan terbitannya.

Itu artinya, dari sekian banyak buku, kita bisa memilih buku yang mana untuk dibaca, yang akan membawa kita larut dalam alur yang diceritakan. Sebuah buku yang bisa membawamu kepada klimaks dan akhir yang emosional. Sebuah buku yang bisa menjadi teman dari kopi atau hot chocolate di atas mejamu.

---

Ah, tapi ingat,
Jangan tumpahkan kopi atau cokelat panasmu di atas bukumu.
Terimakasih sudah membaca.

Monday, June 5, 2017

senja pertama (saat ada kamu)

Yang pertama ya?
Benar juga,


--

Senja yang sama, di setiap hari yang berbeda. Senja di hari Senin, Selasa, Rabu, sampai Minggu. Senja yang setia. Senja yang juga menjadi tanda aku pulang. Pulang dari dunia kerja yang setiap harinya terasa sangat panjang. Senja yang romantis, tanpa harus kudengar kata-kata puitis. Senja yang bisa diandalkan, menahan kegelapan sedikit lebih lama agar aku pulang dengan aman.

Aku sendiri, tapi senja menemani. Aku lelah, tapi senja mengobati. Seingatku, kamu juga begitu kepadaku. Tapi itu dulu. Saat aku sedang suka-sukanya dengan kamu, sebelum kamu suka dengan dia. Bagaimana bisa kau membuatku terluka ketika kau adalah kekuatanku?

Kau adalah kekuatanku? HAHA. Konyol sekali!
Bahkan di saat yang sama kau juga adalah kelemahan buatku.

Tapi aku lega, kita mengakhirinya dengan luka. Karena kalau tidak, pasti sekarang aku ingin melihat senja ini bersamamu. Walaupun kutebak, kau akan membawa dia. Tak apalah menjadi obat nyamuk, daripada menjadi orang ketiga.

Tapi untuk sekarang, setelah kupikir-pikir ulang, dua opsi itu sama-sama bukan pilihan yang tepat untuk dipilih. Untuk apa menjadi obat nyamuk atau orang ketiga kalau aku adalah orang pertama bagimu?

Ah, maksudku, kau tahu lah, setidaknya dulu saat kita sama-sama suka, itu adalah hal pertama untuk kita. Pertama kali untukmu dan pertama kali untukku. Sebelum kita melakukan banyak hal lain untuk pertama kalinya. Dan berdua. Yah walaupun akhirnya, kita sama-sama terluka. Terluka untuk yang pertama kalinya.

Senja itu sebentar, tapi ada terus. Ya walaupun kadang tidak asik saat mendung. Seperti kamu, sebentar-sebentar senyum, sebentar-sebentar cemberut, sebentar-sebentar ngambek, sebentar-sebentar cemburu. Bedanya, kamu asik.

Hari ini aku sedang tidak enak badan jadi aku tidak ke kantor. Tapi Winda, teman sebelah kamarku bersikeras mengajakku keluar. "Cari angin biar sehat," katanya. Sejenak aku berpikir, apa baik-baik saja kalau aku keluar begini sedangkan ke kantor saja aku ijin? Entahlah, sebenarnya aku tidak terlalu memikirkannya. Aku hanya menggumam dan bertanya-tanya tanpa berusaha membuat keputusan. Yasudah terserah Winda saja.

Aku memesan hot chocolate sedangkan Winda masih memilih dan belum juga memutuskan apa yang akan dipesannya. Aku tidak sabar, sebaiknya aku pilih tempat duluan untuk duduk. Lalu akhirnya aku menemukan tempat duduk yang pas. Beranda lantai dua dengan sisi yang nyaman untuk menyaksikan senja. Yah, ternyata dilihat dari tempat ini pun, senja itu masih terlihat sama dengan senja yang tadi kulihat dari kamarku. Bedanya, sekarang aku bisa melihatnya sambil menikmati secangkir coklat panas kesukaanku.

Ngomong-ngomong, sebelum duduk di sini, aku berjalan melewati seseorang mirip kamu. Tapi orang itu sedang merokok. Berarti bukan kamu. Seingatku kamu tidak merokok. Setidaknya saat ada aku. Dulu. Entah sekarang.

Satu menit, dua menit. Semakin sedikit semburat senja yang terlihat.
Astaga, Winda lama sekali.
Akhirnya kuputuskan menyusul Winda kembali. Kupikir tadi aku sudah bilang padanya kalau aku akan pilih tempat di beranda. Seharusnya dia kan menyusulku. Seharusnya, mengingat dia adalah temanku yang paling peka.

Aku menemukannya. Winda. Tapi Winda sedang mengobrol dengan seseorang. Seseorang-yang-mirip-dengan-kamu. Aku menyesal, kalau sedang sakit begini pasti otakku jadi lebih lambat untuk berpikir dan mencerna keadaan. Astaga, jadi itu benar kamu.

Kamu yang sedang mematikan sebuah rokok ke sisi dalam asbak. Itu benar kamu dan aku tidak suka.

"Hei, aku kan sudah bilang mau duduk di luar biar..."
"Biar bisa liat senja? Kan sudah tadi di kamar. Yaudah sini duduk aja. "
" Kenapa di sini?"
"Kan aku tadi sms. Kamu nggak buka hp ya?"

Sial, batinku.
"Sejak kapan kamu suka senja?" Kamu tiba-tiba bertanya padaku.
"Sejak kalian putus." Winda menyela. Kenapa bukan aku yang menjawab?
"Sejak kapan kamu merokok?" Aku tak bisa menahan diri untuk bertanya.
"Sejak kalian putus." Ya ampun. Lagi-lagi Winda yang menjawab.


Aku diam. Kamu diam. Winda tidak diam.
Pandanganku terkunci, sudah ada tiga puntung rokok di asbak sekarang.

Sepertinya senja sudah mulai lelah menahan diri dari kegelapan. Senja menghilang, dan aku mengkerut di sini. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Terang, tapi ada yang aneh. Pandanganku terasa sedikit buyar dan badanku lemas. Hitam, putih, lalu kosong.

Aku pingsan ya?
Di tempat umum seperti ini?
Ah, benar juga. Ini juga pertama kali.

Senja yang sama di hari yang berbeda.
Tak kusangka hari ini jauh lebih berbeda dari biasanya.

Friday, June 2, 2017

hot chocolate and a cup of coffee (2)

Kita sama-sama jatuh cinta.
Kamu mencintai kopimu,
Dan aku mencintai coklat panasku.

---

Tapi di sini, bukan cinta itu yang mempertemukan kita. Sekali lagi, bukan cinta itu. Karena keduanya sudah membuat kita jatuh cinta jauh sebelum kita bertemu seperti ini. Cinta yang terlanjur dalam, tak mudah dialihkan bukan?

Seperti yang sudah aku katakan, aku selalu suka kopi buatanmu, tapi tak cukup kuat mengalihkan kesukaanku pada coklat panasku. Pun kau selalu suka pilihan coklat panasku, tapi rupanya lebih panas cintamu pada setiap kopi dalam cangkirmu.

It's simple, but complicated.
Entahlah, karena memang tak ada yang cukup jelas untuk dijelaskan.

Mungkin memang paling bijak untuk berkata bahwa takdir yang membuat kita bertemu seperti ini. Untuk bisa saling mengenal sedekat ini, aku tak harus mencintaimu, kau pun tak harus mencintaiku. Bukan cinta seperti itu juga yang akan membuat kita dekat. Tapi lihat, di luar mulai hujan.

Satu jam, dua jam, biasanya pertemuan kita lebih lama dari sekedar hitungan itu. Karena anehnya, saat kupikir cangkir kita sama-sama tinggal setengah, hujan kerap kali datang dan menahan kita lebih lama. Itulah kenapa kita sering memesan hal yang sama dua kali. Lucu ya. Yah, bukan lucu yang membuat kita harus tersenyum sih, hanya saja, kita cukup kompak untuk terbiasa dengan hal yang (agak) tidak biasa itu.

Ngomong-ngomong, terakhir kali aku ke sini baru dua hari yang lalu. Tidak seperti sekarang, kemarin aku sendirian. Tapi aku tidak pernah kesepian, karena menikmati hot chocolate membuat seluruh tubuhku bereaksi terhadapnya, membuat seluruh perhatianku terpusat kepadanya. Sehingga aku tidak peduli berapa orang yang keluar masuk cafe ini sementara aku menikmati setiap detikku bersama cangkirku. Aku juga tidak peduli apakah hari itu lebih banyak orang yang datang untuk quality time bersama diri sendiri atau dengan orang lain. Seperti kekasih, maybe?

Oh ayolah, itu kan kemarin. Berbeda dengan sekarang. 
Ada kamu. 
Kalau ada kamu, itu berarti aku adalah orang yang menunggu saat aku sampai duluan dan kau belum di sini.
Kalau ada kamu, itu berarti aku bisa mencium wangi aroma kopimu saat berdekatan dengan coklat panasku.
Kalau ada kamu, itu berarti kita akan memesan hal yang sama dua kali. 
Karena hujan akan menahan kita.

Kupikir additional time ini selalu berpihak kepada kita. Tentu saja, kita bukan orang yang mudah untuk saling menemui dan ditemui kan? Harus dipaksa agar kita bisa bertemu selama ini sekali waktu. Aku selalu di sini, di kota ini, tapi aku tak bisa menjemputmu yang jauh di kota sana. Kau pun begitu, tak bisa sewayah-wayah datang ke sini hanya untuk reuni berdua seperti ini. Tapi kita tak pernah menyesal dengan hal itu, selama kopi dan coklat panas bisa ditemui dimana-mana.


Priority, itulah yang sama-sama selalu kita dahulukan. Karena rindu dan bertemu, adalah apa yang bisa ditunggu. Bukankah menyimpan kata rindu adalah bakat dan rahasia terbesar kita? Kau selalu bilang pada semua orang setiap kau rindu padaku. Tapi kata itu tak sekalipun aku pernah mendengarnya langsung keluar dari mulutmu. Jangan tanya bagaimana aku mengetahuinya, kau tak akan tahu siapa yang memberitahu rahasiamu itu padaku. Jangan harap juga kau bisa menemukan rahasia rinduku melalui orang lain, karena mengemas rinduku agak berbeda dengan caramu. Hanya coklat panasku dan penaku yang tahu.

"Kenapa kamu nggak buka usaha kopi saja sih?"
"Nggak ah."
"Kenapa? Kan suka."
"Tapi aku nggak suka orang lain menikmati kopi buatanku."
"Tapi dulu kamu sering buatin aku?"
"Kan kamu."
"Aku kenapa?"
"Kamu yang minta."

Waktu banyak berlalu, tapi kita tak pernah berubah. Setidaknya aku bagimu dan kamu bagiku. Kau masih saja mau berbagi satu atau dua seruputan kopimu kepadaku. Walaupun aku tak melakukan hal yang sama untukmu. Kau tahu setiap seruputan dalam cangkirku begitu berarti untukku. Aku justru lebih suka kalau kau pesan satu cangkir lagi hot chocolate. Seruputan pertama buatmu, sisanya buatku.

Seperti double date. Bukan kita, tapi aku dan kamu. Aku dengan coklat panasku, dan kamu dengan kopimu. Makin beraroma dan makin panas.
Apalagi saat pesanan cangkir kedua kita datang. Ah, tapi sebaiknya kita tunggu hujan turun dulu, meskipun sudah cangkir kedua, tapi kalau ditambah hujan, aromanya lebih terasa dan lebih panas.

--- 
Itu artinya,

hot chocolate and a cup of coffee

Tidak ada waktu khusus yang menjadi patokan kapan seharusnya kita menulis kan?
Karena menulis adalah kebebasan. Kebebasan kita.

---

Seperti secangkir coklat panas yang baru saja diantarkan oleh seseorang di mejaku. Tunggu, kali ini aku tidak akan membahas siapa yang mengantarkan kenikmatan itu ke hadapanku. Tapi siapapun itu, percayalah kedatangannya cukup berhasil membuatku membuka mulut, tersenyum, dan mengucapkan terimakasih. Oh terimakasih atas minumannya, tentu saja. 

Lega sekali. Aku baru saja menikmati seruputan pertamaku. Kenikmatan yang kudapatkan, kehangatan yang kurasakan, dan rasa manis yang tidak keterlaluan, adalah perpaduan  sempurna yang selalu kudambakan. Seperti merasa hidup kembali. Well, bukan seperti benar-benar sudah mati lalu hidup lagi sih, tapi lebih tepatnya rasa ini baru saja menyadarkanku bahwa aku hidup. Bahwa selalu ada hal baik dalam hidup yang menjadi alasan kenapa manusia harus bersyukur.

hot chocolate, adalah apa yang sudah kuinginkan sejak tadi pagi. Aku gagal mendapatkannya saat jam istirahat kantor tadi siang, sehingga malam ini aku sangat deseperate menantikannya. Jadi tak heran, sepertinya kali ini aku menikmati seruputan pertamaku dengan tempo yang lebih cepat dan egois. Tapi tetap saja, mau bagaimanapun aku menikmatinya, bagiku itu selalu menyenangkan. Kau tahu? Sensasi ketika jemariku menyentuh dan menariknya semakin dekat denganku, ketika wangi aromanya lebih dekat terhirup masuk ke hidungku, ketika mulut cangkirnya bertemu dengan permukaan bibirku, itu semua adalah foreplay yang enjoyable untuk mendapatkan guyuran hangat hot chocolate yang nyata bisa memuaskan kerinduanku seharian ini. Melunturkan lelah dan penantianku, menanggalkan amarah dan penyesalanku, menenangkan hati dan pikiranku. Bagaimana bisa satu cangkir coklat panas ini bisa membuat hal-hal itu menjadi mudah?

Lalu satu hal lagi yang kurindukan hari ini (selain coklat panas ini) akhirnya datang. Hei, aku sedang membicarakan dirimu. Siapa lagi?


Aku suka duduk di sini. Meski jauh dari pintu, tapi aku bisa melihat dengan jelas orang-orang yang keluar-masuk cafe ini. Aku baru sadar, kau masuk melalui pintu itu dan langsung berjalan ke sini tanpa toleh sana-toleh sini. Wah kau membuatku tersanjung. Aku senang kau hafal tempat yang kusukai ini. Meskipun sudah lama kau tidak ke sini. Sudah berapa lama ya? dua tahun? tiga tahun?

"Apa kabar?"
"Biasa aja."
"Sama, aku juga."

Sudah kuduga. Kita memang dekat tapi tidak cukup dekat untuk saling mengaku rindu. But thanks to someone yang namanya ingin dirahasiakan, katanya kamu sudah rindu berat denganku dan menyesal karena tak bisa datang ke wisudaku. Tapi tenang saja, aku akan tetap pura-pura tak mengetahui rahasiamu itu kok. Toh kamu sudah di sini.

Lalu secangkir kopi pun mendarat di meja, menemani coklat panasku yang sekarang mulai sedikit hangat. Coklat panasku tidak sendirian lagi, aku senang.

Dulu aku selalu suka kopi buatanmu, termasuk semua pengetahuan tentang kopi yang satu persatu kamu ceritakan padaku. Aku ingat saat pertama kita ke sini. Kau memaksaku mencoba kopi yang belum pernah kucoba sebelumnya.

"Pahit!" Aku refleks memasang muka masam yang ... (yah bisa dibayangkanlah bagaimana ekspresinya)
Tapi astaga, kau malah tertawa. Lalu kau menjelaskan tentang kopi yang bisa membawamu ke berbagai tingkat rasa walaupun dalam satu cangkir yang sama.

Yah, mungkin itu yang membedakan kita. Bagaimanapun kamu, kau tidak pernah sekalipun egois dengan seeruputan pertama kopimu. Setidaknya, di hadapanku. Sama seperti karaktermu yang selalu berusaha memegang penuh kendali atas dirimu sendiri.

Kalau aku, karakter yang plain mungkin. Aku tak pernah menahan diriku untuk menikmati coklat panas ini kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun. Beruntung, di kantorku aku bisa bebas membuatnya kapanpun, bahkan di saat jam kerja sekalipun. Tapi hari ini, mungkin pengecualian. Aku hampir menghabiskan 8 jam kerjaku di luar kantor. Ada janji dengan client, maksudku.

Tapi aku tidak menyesal, sungguh!
Berkat hal itu, kali ini aku mendapatkan puncak kenikmatan tiada tara sebagai bayaran kesabaranku menahan diri.
Aku pernah membaca sebuah artikel, coklat panas baik untuk kesehatan. Aku lupa detailnya, hanya saja aku merasa baik-baik saja walaupun aku melupakan detailnya. Maksudku, itu berarti coklat panas ini cukup membuatku berpikir bahwa dia tidak akan membahayakanku entah mau bagaimanapun caraku menikmatinya. Benar, bukan?

Kau tidak akan membahayakanku kan?
Tidak akan menyakitiku saat aku sedang suka-sukanya denganmu kan?
hot chocolate.

Baca Kisah : Guru Perempuan Pertama dalam Islam

Assalamu'alaikum.
---
Kalau kau bertanya aku sedang apa, aku akan menjawab sedang membersihkan rak baru untuk buku-buku bacaanku. Seperti yang kau lihat, ruangan ini sudah seperti toku buku yang baru saja buka, buku dimana-mana dan belum sempurna tertata. Lalu kau berjalan ke arahku. Kupikir kau akan membantuku, tapi ternyata kau hanya mengambil satu buku yang sepertinya langsung menyita perhatianmu. Ah, aku lupa. Kau juga menyukai mereka, buku-buku.

"Kamu suka?"
"Apa?"
"Buku itu, maksudku," aku tersenyum.
"Oh," kau membalas tersenyum. "sepertinya menarik."
"Bawalah dan bacalah, kupinjami sampai kau selesai membaca."
"Tidak, aku akan membaca ini di sini saja sambil menemanimu."
"Oh thank you,"
"Okay just take your time."

Tentang buku seperti apa yang kita sukai, kita berdua memang tidak memiliki kategori khusus. Hanya saja, dari sekian tema dan judul buku yang kupunya, aku tidak menyangka kau akan memilih buku yang satu itu. Buku dengan sampul hardcover berwarna pink itu berjudul 150 PEREMPUAN SHALIHAH Teladan Muslimah Sepanjang Masa, karya Abu Malik Muhammad bin Hamid.
Maksudku, kau kan bukan perempuan.

Di sudut ruangan ini, melihatmu membaca buku itu, membuatku kembali teringat akan salah satu kisah di dalam buku itu. Bahkan aku masih ingat kisah itu ditulis di halaman 104-107. Kisah ke-49 dari total 150 kisah itu berjudul Guru Perempuan Pertama dalam Islam, Asy-Syifa' binti Abdullah.

Sini, kubacakan untukmu.

---

Dalam Gua Hira' menyebarlah cahaya fajar Islam. Menyinari kota Makkah dan sekitarnya dengan cahaya Allah. Memancarkan sinar ke dalam pikiran dan membuka hati-hati yang beriman, sebuah cahaya yang menyelimuti kebesaran Islam. Berapa banyak orang yang diangkat derajatnya dengan Islam, mereka yang sebelumnya belum pernah terdengar namanya dan betapa banyak yang dengan Islam seseorang makin bertambah agung kedudukannya, yang makin memperjelas orang-orang pilihan di masa jahiliah dan orang pilihan di dalam Islam. Beginilah asy-Syifa' binti Abdullah bin Abdusy Syams bin Khalaf bin Syada al-Qarsyiyah al-'Adwiyah.

Diriwayatkan bahwa namanya adalah Laila dan dijuluki Ummu Sulaiman. Akan tetapi, ia terkenal dengan panggilan asy-Syifa'. Barangkali ia terkenal dengan nama asy-Syifa' karena ada beberapa orang yang sembuh melaluinya, dengan izin Allah.

Asy-Syifa' binti Abdullah menikah dengan Abu Khatsmah bin Hudzaifah bin Amir al-Qursyi al-'Udwi. Ia memeluk Islam pada masa awal penyebarannya. Dia bersama orang-orang muslim pertama bersabar menanggung beban siksaan orang Quraisy dan gangguan mereka. Akhirnya, Allah SWT mengizinkan orang-orang yang bersabar baik laki-laki maupun perempuan yang ada di Makkah untuk hijrah ke Yatsrib. Kemudian, hijrahlah ia bersama yang lainnya.

Asy-Syifa' binti Abdullah al'Adwiyah termasuk minoritas orang yang bisa membaca dan menulis di zaman jahiliah. Allah SWT telah memberkatinya dengan membuatnya mencintai keduanya, yaitu dengan memberikan akal yang kuat dan ilmu yang bermanfaat. Ia bisa meruqyah sejak zaman jahiliah.
Ketika Islam datang, ia berkata, "Aku tidak akan meruqyah sampai aku mendapatkan izin Rasulullah saw." Kemudian, ia datang terhadap Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah meruqyah dengan cara meruqyah orang jahiliah dan aku ingin menunjukkannya kepadamu."

Rasulullah menjawab, "Tunjukkanlah!"

Kemudian, asy-Syifa' menunjukkan kepada Rasulullah. Ia meruqyah dengan menggunakan namilah (sejenis potongan dari kulit). Lalu Rasulullah bersabda, "Meruqyahlah kamu dengan itu dan ajarkan hal itu kepada Hafshah. Dengan nama Allah, singkirkanlah siksaan, wahai Tuhan manusia. Dan, meruqyahlah dengan menggunakan kayu kunyit dan oleskan pada semut."

Setelah peristiwa itu, asy-Syifa' terus meruqyah orang-orang yang sakit dari kalangan kaum muslimin., baik laki-laki maupun perempuan. Dia juga mengajarkannya kepada Ummul Mukminin Hafshah. Jika diperhatikan dalam kejadian ini, walaupun asy-Syifa' memiliki ilmu kuno yang dia dapatkan sebelum menemukan cahaya Islam, ia tidak mau menggunakannya, kecuali setelah mengetahui hukumnya secara syar'i. Ketika ia telah mendapatkan izin dari Rasulullah saw., ia pergunakan untuk membantu manusia. Tidak cukup hanya dengan itu, ia juga mengajarkan kepada para muslimah membaca dan menulis sehingga layak kalau dikatakan sebagai guru perempuan pertama dalam Islam.
Tidak banyak tulisan yang membahas tentang asy-Syifa' binti Abdullah, bahkan sangat sedikit. Ibnu Hajar dalam kitabnya, al-Ishabah, menggambarkan bahwa asy-Syifa' termasuk cendekia dari kalangan wanita dan Rasulullah saw. memfasilitasinya dengan menyediakan rumah di Madinah sebagai tempat tinggalnya.

Umar bin Khattab r.a. memercayai pendapatnya, mendahulukan untuk mendengar ucapannya dibanding dengan yang lain sampai dikatakan bahwa ia diangkat untuk mengurus beberapa hal yang berkenan dengan pasar. Akan tetapi, tidak disebutkan tugas apa yang diemban oleh asy-Syifa' binti Abdullah di pasar, kecuali apa yang disampaikan oleh Ibnu Sa'ad di dalam Thabaqat yang diriwayatkan dari cucunya Umar bin Sulaiman bin Abi Khatsmah dari bapaknya berkata, "Asy-Syifa' binti Abdullah berkata , Aku melihat beberapa pemuda berjalan dengan pelan-pelan.' Lalu Asy-Syifa' berkata. 'Apa ini?' Mereka berkata, 'Ahli Ibadah,' Lalu, ia berkata, 'Umar ketika ia berkata terdengar, jika berjalan cepat, dan jika memukul akan menyakitkan. Dia adalah sebenar-benarnya manusia.'"

Dapat disimpulkan bahwa dari pembicaraan asy-Syifa' binti Abdullah tersebut adalah bagian dari tugas seorang pengawas harga. Akan tetapi, sebagaimana diceritakan dalam kejadian tersebut, ia tidak berbicara langsung kepada sekumpulan pemuda tersebut, tetapi hanya berkata kepada orang yang mendampinginya.

Diantara tugasnya juga amar ma'ruf nahi mungkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah kemugkaran), khususnya yang berkenaan dengan wanita. Mungkin juga pengawas pengajaran anak-anak karena hal itu termasuk pekerjaan seorang pengawas dalam Islam. Wallahu a'lam.

Asy-Syifa' binti Abdullah meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. dan juga dari Umar bin Khaththab. Beberapa yang meriwayatkan hadits darinya adalah anaknya, Sulaiman bin Abi Khutsmah, dan cucu-cucu yang lainnya. Haidtsnya diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam Bab Adab dan Bab Pekerjaan Seorang Hamba, sebagaimana pula diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i.
Guru wanita pertama dalam Islam ini wafat pada zaman kekhalifahan Umar bin Khaththab pada tahun 20 Hijriah. Allah melimpahkan pahala kepadanya dari kaum muslimin dan muslimat atas apa yang dia perbuat untuk umat dengan mengurus orang-orang yang sakit dan memberikan pengajaran kepada kaum perempuan.

MY WEDDING ^^

MY WEDDING ^^