Monday, June 5, 2017

senja pertama (saat ada kamu)

Yang pertama ya?
Benar juga,


--

Senja yang sama, di setiap hari yang berbeda. Senja di hari Senin, Selasa, Rabu, sampai Minggu. Senja yang setia. Senja yang juga menjadi tanda aku pulang. Pulang dari dunia kerja yang setiap harinya terasa sangat panjang. Senja yang romantis, tanpa harus kudengar kata-kata puitis. Senja yang bisa diandalkan, menahan kegelapan sedikit lebih lama agar aku pulang dengan aman.

Aku sendiri, tapi senja menemani. Aku lelah, tapi senja mengobati. Seingatku, kamu juga begitu kepadaku. Tapi itu dulu. Saat aku sedang suka-sukanya dengan kamu, sebelum kamu suka dengan dia. Bagaimana bisa kau membuatku terluka ketika kau adalah kekuatanku?

Kau adalah kekuatanku? HAHA. Konyol sekali!
Bahkan di saat yang sama kau juga adalah kelemahan buatku.

Tapi aku lega, kita mengakhirinya dengan luka. Karena kalau tidak, pasti sekarang aku ingin melihat senja ini bersamamu. Walaupun kutebak, kau akan membawa dia. Tak apalah menjadi obat nyamuk, daripada menjadi orang ketiga.

Tapi untuk sekarang, setelah kupikir-pikir ulang, dua opsi itu sama-sama bukan pilihan yang tepat untuk dipilih. Untuk apa menjadi obat nyamuk atau orang ketiga kalau aku adalah orang pertama bagimu?

Ah, maksudku, kau tahu lah, setidaknya dulu saat kita sama-sama suka, itu adalah hal pertama untuk kita. Pertama kali untukmu dan pertama kali untukku. Sebelum kita melakukan banyak hal lain untuk pertama kalinya. Dan berdua. Yah walaupun akhirnya, kita sama-sama terluka. Terluka untuk yang pertama kalinya.

Senja itu sebentar, tapi ada terus. Ya walaupun kadang tidak asik saat mendung. Seperti kamu, sebentar-sebentar senyum, sebentar-sebentar cemberut, sebentar-sebentar ngambek, sebentar-sebentar cemburu. Bedanya, kamu asik.

Hari ini aku sedang tidak enak badan jadi aku tidak ke kantor. Tapi Winda, teman sebelah kamarku bersikeras mengajakku keluar. "Cari angin biar sehat," katanya. Sejenak aku berpikir, apa baik-baik saja kalau aku keluar begini sedangkan ke kantor saja aku ijin? Entahlah, sebenarnya aku tidak terlalu memikirkannya. Aku hanya menggumam dan bertanya-tanya tanpa berusaha membuat keputusan. Yasudah terserah Winda saja.

Aku memesan hot chocolate sedangkan Winda masih memilih dan belum juga memutuskan apa yang akan dipesannya. Aku tidak sabar, sebaiknya aku pilih tempat duluan untuk duduk. Lalu akhirnya aku menemukan tempat duduk yang pas. Beranda lantai dua dengan sisi yang nyaman untuk menyaksikan senja. Yah, ternyata dilihat dari tempat ini pun, senja itu masih terlihat sama dengan senja yang tadi kulihat dari kamarku. Bedanya, sekarang aku bisa melihatnya sambil menikmati secangkir coklat panas kesukaanku.

Ngomong-ngomong, sebelum duduk di sini, aku berjalan melewati seseorang mirip kamu. Tapi orang itu sedang merokok. Berarti bukan kamu. Seingatku kamu tidak merokok. Setidaknya saat ada aku. Dulu. Entah sekarang.

Satu menit, dua menit. Semakin sedikit semburat senja yang terlihat.
Astaga, Winda lama sekali.
Akhirnya kuputuskan menyusul Winda kembali. Kupikir tadi aku sudah bilang padanya kalau aku akan pilih tempat di beranda. Seharusnya dia kan menyusulku. Seharusnya, mengingat dia adalah temanku yang paling peka.

Aku menemukannya. Winda. Tapi Winda sedang mengobrol dengan seseorang. Seseorang-yang-mirip-dengan-kamu. Aku menyesal, kalau sedang sakit begini pasti otakku jadi lebih lambat untuk berpikir dan mencerna keadaan. Astaga, jadi itu benar kamu.

Kamu yang sedang mematikan sebuah rokok ke sisi dalam asbak. Itu benar kamu dan aku tidak suka.

"Hei, aku kan sudah bilang mau duduk di luar biar..."
"Biar bisa liat senja? Kan sudah tadi di kamar. Yaudah sini duduk aja. "
" Kenapa di sini?"
"Kan aku tadi sms. Kamu nggak buka hp ya?"

Sial, batinku.
"Sejak kapan kamu suka senja?" Kamu tiba-tiba bertanya padaku.
"Sejak kalian putus." Winda menyela. Kenapa bukan aku yang menjawab?
"Sejak kapan kamu merokok?" Aku tak bisa menahan diri untuk bertanya.
"Sejak kalian putus." Ya ampun. Lagi-lagi Winda yang menjawab.


Aku diam. Kamu diam. Winda tidak diam.
Pandanganku terkunci, sudah ada tiga puntung rokok di asbak sekarang.

Sepertinya senja sudah mulai lelah menahan diri dari kegelapan. Senja menghilang, dan aku mengkerut di sini. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Terang, tapi ada yang aneh. Pandanganku terasa sedikit buyar dan badanku lemas. Hitam, putih, lalu kosong.

Aku pingsan ya?
Di tempat umum seperti ini?
Ah, benar juga. Ini juga pertama kali.

Senja yang sama di hari yang berbeda.
Tak kusangka hari ini jauh lebih berbeda dari biasanya.

No comments:

Post a Comment

MY WEDDING ^^

MY WEDDING ^^