Wednesday, November 18, 2020

You are not Supposed to Look Back, You are Supposed to Keep Going

 Assalamu'alaikum ^^

Banyak hal membuat kita ragu, beberapa hal bahkan membuat kita memikirkan yang telah berlalu. Apakah kita melakukan hal yang benar? Berulang kali pertanyaan yang sama berputar di kepala kita. Kalau apa yang kita lakukan itu benar, kenapa kita tidak bisa berhenti memikirkannya? Tapi kalau salah, kenapa kita berpikir pasti akan membuat keputusan yang sama seandainya bisa kembali ke masa lalu? 

Kalau benar, bagian mana yang salah?
Tapi kalau salah, seperti apa yang benar?


Setiap orang punya sisi gelap, tapi ingin bersinar dengan cahayanya masing-masing. Sesuai dengan judul yang aku buat di atas, kita berjalan ke depan tidak untuk melihat ke belakang, tapi untuk terus maju dan menuju ke depan. Mungkin ini bisa juga disebut hijrah, yang artinya pindah. Tentu saja dalam konteks pindah ke sesuatu yang lebih baik. Maka aku berharap, kita semua saat ini adalah orang yang lebih baik daripada kita yang dulu. Dengan begitu, semakin banyak alasan untuk bertahan dan melanjutkan perjalanan kita.

Bisa juga disebut ikhtiar, selama kita membarengi usaha fisik kita dengan berdoa. Tapi bagaimana cara berikhtiar yang benar? Terkadang manusia bisa berat sebelah dan berlaku tidak adil, bahkan terhadap dirinya sendiri. Sudah banyak berusaha, tapi sedikit berdoanya. Sudah berdoa khusyuk setiap hari minta sama Allah, tapi tidak melakukan usaha dhohir. 

Kata Ibuk, itu namanya ngapusi. 

Lalu aku berhitung, dan ternyata sudah berkali-kali aku ngapusi diriku sendiri. Berkata sudah melakukan yang terbaik, tapi berdzikir saja masih malas-malasan. Berkata sudah rajin berdoa, usahanya masih setengah-setengah. 

Lalu kubilang itu manusiawi, bisa saja dimaklumi.
Tapi jauh di lubuk hatiku mengerti...ini hanyalah penghiburan tiada arti.


لْاِنْسَانُ مَحَلُّ الْخَطَاءِ وَالنِّسْيَانِ
"Manusia itu tempatnya salah dan lupa."

Hikmah, namanya. Manusia bisa saja khilaf, bisa membuat suatu kesalahan begitu saja. Manusia bisa saja lupa, lupa akan apa yang seharusnya dilakukan. Tapi semua itu bukan berarti sia-sia. Semakin banyak kesalahan dan kelupaan yang kita lakukan, semakin banyak pembelajaran kita dapatkan. Selalu ada hikmahnya. Setiap pembelajaran dan hikmah yang kita petik, menuntut kita menjadi lebih bijak dan lebih dewasa. Pada akhirnya akan ada hal baru yang kita ketahui, dan ada jalan baru yang tidak pernah kita lihat sebelumnya. Kita bisa menerima petunjuk itu dengan berdoa kepada Allah untuk diberikan jalan yang Ia ridhoi, bukan jalan orang-orang yang tersesat. Na'udzubillah semoga kita bukan termasuk golongan orang yang tersesat.



Terkadang, saat masa-masa sulit tidak cukup dengan hanya mengandalkan usaha dan doa kita sendiri. Justru bisa kubilang sangat memerlukan doa dari orang lain. Tapi bukan berarti kita harus selalu bergantung kepada orang lain, bukan. Maksudnya adalah semakin banyak orang yang mendukung kita, semakin banyak orang yang mendoakan kita, akan semakin baik. 

Aku percaya dengan betapa dahsyatnya semua doa-doa yang terucap oleh lisan orang lain, bisa menambah keberuntungan dan kebaikan dalam jalan yang Allah siapkan untukku di depan. Maka kamu juga begitu. Bertemu dengan orang lain, jangan biarkan pertemuan itu selesai begitu saja tanpa ada satupun doa baik yang terucapkan baik darimu untuknya atau dari orang itu untukmu.

Sesederhana dengan mengucapkan "Assalamu'alaikum" saja itu sudah terkandung doa akan keselamatan didalamnya. Sayang sekali kalau hari ini kita bertemu dengan banyak sekali orang, tapi tidak satupun bertukar salam dan doa dengan kita. Iya kan? Maka dari itu, yuk perbanyak tutur kata dan doa yang baik untuk orang lain, sehingga orang pun akan selalu berkata baik dan mendoakan kita dengan doa-doa yang baik setiap hari.

Mungkin banyak hal membuat kita tidak cukup puas atau bahkan membuat kita tidak bahagia. Tapi semua hal ada fasenya. Melihat ke belakang sesekali tidak masalah, tapi melihat jelas ke depan sudah merupakan keharusan. Kita sudah berusaha, kalau belum berhasil berarti itu belum berakhir, karena akhirnya pasti kita bisa berhasil.

Setiap usia dan tahapan kehidupan memiliki ujiannya masing-masing, pun tidak selalu sama antara satu orang dengan yang lainnya. Last but not least, sejujurnya ini hari yang cukup sulit untukku, sulit untuk dilalui seorang diri tapi aku beruntung alhamdulillah hari ini aku mengobrol dengan banyak orang. Sepertinya Allah benar-benar memberiku kesempatan agar semua orang dapat memberi energi positif padaku. Tak cukup dengan energi positif, maka aku pun meminta doa. Akhirnya doa baik saling berbalas dengan doa baik.

Percaya kalau doa baik tidak akan berhenti hanya sebagai doa yang baik kan?
Doa yang baik sealu berbalas dan berbalik.

Akhirnya untaian-untaian doa baik keluar dari lisan semua orang. Semoga semua doa baik itu dicatat dan diamini pula oleh malaikat, semoga Allah pun mengijabahi semua hajat baik kita.

And you know what? Kita bisa lebih kuat dari yang kita sendiri bayangkan.

Selamat berikhtiar!
Wassalamu'alaikum ^^



Monday, September 7, 2020

Ulang Tahun Pertama Setelah Menikah

 

Salam!
Selamat ulang tahun untuk siapapun kamu yang mungkin sekarang sedang ulang tahun. Tentu, setiap hari pasti ada yang ulang tahun, bukan? Hehehe

Percaya tidak? Dulu aku tipe orang yang dengan mudah hafal semua tanggal lahir orang-orang terdekatku. Bahkan anak pertama dan kedua tanteku saja aku hafal tanggal lahirnya. Tak ketinggalan-lah aku untuk mengucap doa baik di setiap tanggal-tanggal itu. Bukan sengaja menghafal tapi ya hafal  begitu saja. Entahlah, tapi kalau hafal tanggal lahir orang tua dan adik-adik mah udah biasa ya.

Kenapa tiba-tiba bahas tanggal lahir?
Jujur saja aku barusan buka-buka folder di laptop karena ada data yang harus segera dipindah. Lalu lama-kelamaan jadi iseng buka-buka folder lain juga. Dan sampailah ke folder foto yang isinya ribuan foto yang bercampur aduk random dan tidak berurutan. Maklum, sesering itu collect pictures tapi agak malas untuk merapikannya di folder yang terpisah. Finally, ada beberapa foto yang mengingatkanku kembali ke beberapa bulan yang lalu.

Bulan Juli, tepatnya di hari ulang tahunku.
Bulan Juli bagiku selalu berubah-ubah. Sering bertepatan dengan libur sekolah, libur semester, libur panjang, atau bahkan pergantian sekolah. Entah itu SMP, SMA, atau bahkan S1, selalu tak banyak yang bisa kutemui di Bulan Juli. Makanya selalu berbeda dengan siapa aku menghabiskan hari ulang tahunku setiap tahunnya.

Tapi belakangan, ada hal yang mulai membuatku terbiasa. Bukan siapa, tapi apa. 
Entah dimulai dari kapan, tapi di hari ulang tahunku selalu ada boneka dan juga cokelat. Bahkan kotak musik, hal yang sangat kukagumi ketika aku masih kecil itu juga pernah sekali menjadi kejutan tersendiri bagiku. Mungkin itu di ulang tahunku yang ke-18 aku dapat sebuah hadiah kotak musik dari seorang teman dekat. Hal yang sama adalah semua itu seakan hadir begitu saja ke hadapanku. 

Lalu hal terakhir yang aku ingat adalah buku. Ya, selalu ada buku di beberapa tahun terakhir ini. Sampai akhirnya, menjadi kebiasaan bagiku di Bulan Juli untuk menunggu kiriman buku datang ke alamat rumahku. Tanpa sadar, pola yang sama terjadi lagi. Selalu tanpa pertemuan, tanpa senyuman, tanpa kenangan, semua hadiah-hadiah indah ini datang mewakili. Anehnya, tak sekalipun aku jemu.

Aku semakin tenggelam dalam keengganan untuk bersosial. 
Hingga akhirnya aku menikah.
Bahkan untuk pertama kalinya, aku tidak terpikirkan akan menikah dengan siapa. Tapi apa. Apa yang harus aku lakukan? Aku bisa apa?

Tapi itu proses hidup, dan aku menjalaninya.
Selangkah demi selangkah, dengan kecepatan yang aku mampu.

Mungkin aku kaku, tapi ingin terlihat terus bergerak maju. 
Mungkin aku juga malu, tapi berharap cukup banyak yang aku tahu.

Aku belajar. Darinya aku banyak diajari.
Aku mencinta. Darinya aku banyak dicintai.
Aku mendamba. Darinya aku banyak dikasihi.
Begitulah istri dari seorang suami.

Orang bilang, "Selamat menempuh hidup baru!" 
Ternyata hidupku memang banyak berubah setelah membangun keluarga baru. Di awal perlahan memang terasa asing dan kurang nyaman. Tapi sesuatu yang baru memang selalu asing di awal, bukan? Hingga akhirnya semua yang baru itu mengambil alih definisi zona nyaman bagiku.

Berlaku pula untuk hari ulang tahunku.
Jarak dengan suami yang tidak sedikit, Bekasi dan Yogyakarta, tak jarang membuatku dilema. Aku tidak menantikan apa-apa, lebih-lebih pandemi sedang melanda. Ya, aku memang tidak menantikan apa-apa, tapi bohong jika aku berkata tidak mengharapkan siapa-siapa. 

Dan ini adalah pertama kalinya.
No more cakes,
no more dolls,
no more flowers,
no more chocolates,
even books,
kali ini aku berharap lebih dari itu semua. Yaitu jumpa, sapa, senyuman, dan pelukan. Aku bukan orang yang berani mendambakan sesuatu yang mungkin tak sanggup aku atasi secara logika. Dan dengan kondisi di luar seperti saat ini (Bulan Juli kemarin), secara logika yaaa sulit untuk bertemu.

Tapi dia datang. Perasaanku campur aduk sepanjang perjalanan ke bandara. 
Ya cemas, tapi ya bahagia.
Ya senang, tapi ya khawatir.
Ya gelisah, tapi ya bangga.
Setelah pertemuan yang dramatis, reuni kecil yang cheesy, dan tatap-tatapan yang kaku karena lama tak bertemu, akhirnya ditanya juga aku ingin dikasih apa.

Girls, tahu tidak?
Ketika kita bahagia, katakanlah kita sedang bahagia-bahagianya banget gitu, semisal kita ditanyain ingin apa, pasti kita akan bilang tidak ingin apa-apa. Iya kan? Kenapa? Karena kita sedang bahagia.

Dan yaaa, that was soooo true. Karena tak terpikirkan apa yang aku inginkan, aku hanya bilang aku ingin makan. 
Aku hanya ingin melakukan aktivitas apapun yang biasa aku lakukan sendirian menjadi aktivitas yang sekarang bisa aku lakukan berdua dengan suamiku. 
Sesederhana itu. Yeah walaupun dia memberikan lebih. Mari anggap lebih-lebihnya itu sebagai tanda kasih sayang. Hehehe.



Aku yang ketika sendirian lebih banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan, menjadi sering menghabiskan waktu di luar. Kuakui aku kelewat sangat bersenang-senang, karena sebelumnya aku bahkan tak tahu cara bermain. 

You know what? mungkin ada bagusnya juga menjadi anak rumahan sebelum menikah, karena setelah menikah jadi banyak sekali hal-hal baru yang aku alami untuk pertama kalinya. Itu saja sudah spesial, tapi ditambah lagi tingkatan spesialnya karena hal yang pertama kualami itu ternyata aku mengalaminya bersama pasangan halalku. 

Selamat untuk kamu, siapapun kamu, yang mungkin seperti aku juga, dulunya anak rumahan, tiba-tiba menikah dan tiba-tiba banyak hal yang kamu alami untuk pertama kalinya. Sekecil apapun hal baru itu, mungkin adalah hal biasa bagi orang lain yang sudah biasa mengalaminya, tapi mari anggap itu hal yang spesial, karena itu memang sangat spesial. Percayalah.. kenapa? Karena kita mengalaminya bersama orang yang spesial.

Salam!


Wednesday, March 11, 2020

Ikhtiar Yang Nggak Ada Ruginya

Assalamu'alaikum, ladies........

Alhamdulillah akhirnya bisa post cerita baru lagi di sini. Kamu gimana kabarnya? Sudah ada kabar baik apa saja hari ini?

Bertemu dengan banyak orang biasanya melahirkan adanya pertukaranya informasi. 
Belajar, namanya. 
Kita bisa belajar dari sebuah pengalaman. 
Pengalaman yang baik, akan baik juga kalau kita bisa mengikutinya. Tapi pengalaman yang tidak baik, kita tidak harus mengalaminya sendiri untuk bisa memetik hikmahnya. Bener kan? Pengalaman itu tidak harus kita sendiri kok yang mengalaminya. Kita bisa belajar dari pengalaman orang lain. 

Sip! Good~

Oleh karena itu, semakin aku dewasa, semakin aku berusaha menyadarkan diri sendiri sih. Semakin aku menghargai semua ilmu, sharing, dan nongki-nongki cantik. Hehehe.

Kamu yang sekarang ini seumuran denganku, pasti sudah memasuki fase-fase pernikahan. Kebanyakan. Karena... ya emang lagi mangsanya, lagi wayahnya. Awal-awal pernikahan yaaaa ada laaaah yang sering kita obrolin, ada baper-bapernya, ada seneng-senengnya, ada mesra-mesranya, pokoknya anget terus lah. Kalaupun ada bete-betenya yaaaaa paling yaa sebentar-sebentar, habis itu udah sayang-sayangan lagi. Hehehe.

Tapi, kehidupan itu kompleks. Kalau kamu pernah nonton drakor judulnya Because This is My First Life, di situ juga digambarkan kalau di dunia ini tidak ada orang yang hidupnya itu enak-enaaaaaaak terus. Tapi tidak ada juga orang yang hidupnya itu susah-susaaaaaaaah terus. Begitulah struggle-nya orang kalau mau hidup. Yeah that's life, sis. Makanya ada yang disebut roda kehidupan. Masa depan siapa sih yang tahu? Kita tidak tahu. Tapi ini kehidupan kita, kita juga yang harus mengusahakan how we live our life gitu lah. Bahasa jawanya yaa urip sing urip gitu lah. That's why agama kita mengajarkan yang namanya ikhtiar.

Iya, ikhtiar yang itu. Ikhtiar yang artinya berusaha sambil berdoa. Yang dinamakan sambil itu ya berarti dilakukan bersamaan.
Disebut berusaha itu ketika ada action, ketika kita melakukan sesuatu,  itu namanya berusaha. Jadi tuh ada niat yang dinyatakan dengan perbuatan. Bukan niat namanya kalau baru diucapkan doang dalam hati.
Disebut berdoa itu kalau kita nyuwun sama Gusti Allah. Mintanya jangan cuma sekali, mintanya ya harus berkali-kali. Bukan berarti doa kita ndak mempan itu bukan. Tapi semakin banyak kita meminta sama Allah, Allah justru tambah seneng sama kita.

Dan seperti teori analisa resiko yang kita pelajari di kampus, di kehidupan pernikahan juga pasti ada resikonya. Hanya saja, kita bisa memilih resiko mana yang sekiranya bisa kita tempuh dan bisa kita hadapi di depan. Bukan dihadapi sendiri, tapi dihadapi bersama. Kenapa? Karena pernikahan itu tidak nafsi-nafsi, tidak dewe-dewe, tidak sendiri-sendiri.

Nah, kenapa tiba-tiba aku pengen cerita begini?
Karena ada hati yang sedang gundah. Malam-malam menjelang tidur seperti ini, biasanya secara tidak sadar otak kita akan play kembali rekaman perjalanan kita sepanjang hari ini. Kadang random sih, jadi terkadang malah kepikirannya jauh sampe kemana-mana. Hehehe. But that's okay, that means our brain is still working, right? 

Hmmm. Technically, yes. 



Kembali ke hati yang gundah. Setiap orang punya kegundahan masing-masing, sesuai dengan apa yang sekarang ini sedang dihadapkan di hadapannya. Seperti aku yang gundah karena kuliah belum juga selesai, gundah karena udah kepengen tinggal serumah sama suami, gundah karena udah kepengen punya baby. Macam-macam lah. Nah, akhir-akhir ini kebetulan lagi sering dicurhatin sama beberapa teman yang jatuh bangun dalam hal pencarian jodoh. Well, jodoh itu juga rejeki, rejeki yang juga jadi misteri. Kapan, Di mana, Siapa. Who knows? Nobody knows.

Jujur aku sedih karena tahu apa-apa yang sudah dialami beberapa dari teman-temanku yang lain. Maksudnya, lika-liku yang kulewati sebelum akhirnya aku menikah dengan suamiku yang sekarang mungkin tidak ada apa-apanya kalau dibanding dengan beberapa skenario yang dialami teman-temanku. Ada yang jatuh hati dengan manis, tapi kemudian patah hati dengan menangis. Jatuh hati lagi, patah hati lagi. Ada yang cocok tapi tidak berjodoh. Ada juga yang merasa tidak cocok tapi ketemunya itu lagi, itu lagi. Masya Allah, skenario Allah itu warna-warni dan tidak ada bandingannya.


Tapi semakin banyak kita tahu cerita dan pengalaman orang lain, semakin luas juga kesempatan kita untuk belajar. Tidak ada ikhtiar yang membuat kita rugi. Tidak ada ikhtiar yang menghianati. Menanti saja, menanti. Yang penting kita pastikan saja hati kita tidak mati.

Oh!
Tiba-tiba saja aku teringat satu petuah ibuk dulu sekali ketika aku sering sambat ke beliau. Seringnya ibuk ngendiko begini, "Jangan su'udzon, nduk, sama Allah."

See? The point is kita jangan sampai berburuk sangka dengan skenario yang sudah Allah siapkan untuk kita. Jadi, tugas kita harus memastikan hati kita tidak mati, dan pastikan otak kita juga sejalan dengan itu. Wong semua yang kita lakukan itu pangkalnya dari hati. Jadi ya berbaik sangka saja. Ya sambil jalan, sambil dicari-cari hikmah positif dari status kita sekarang ini apa saja sih, begitu. Yaaaaa sambat-sambat sedikit ya boleh lah, tapi diniatin bukan untuk su'udzon sama Allah. Diniatin saja untuk sharing, diniatin buat menemukan pupuk baru untuk harapan kita yang mulai goyah.

Betul itu. Sometimes, kita memang perlu dorongan dan kata semangat dari orang lain untuk memupuk kembali kekuatan dan harapan kita. You are not alone, ladies. Karena aku pun begitu. Ketika aku merasa terluka oleh keadaan, berhadapan dengan berbagai questions I can't stand, itu rasanya jadi sedih gitu. Hehehe. Tapi ya kembali ke semua yang aku ceritain di atas tadi, aku tidak mau su'udzon sama kersane Gusti Allah. 

Yaaaaa ndungo terus saja. Sambat sedikit lah kadang-kadang. Tapi sambatnya ke orang yang sekiranya akan tulus menguatkan kamu. Begitulah kapan sambat itu bisa disebut sebagai sambat yang berfaedah. Kalau sambat yang ujungnya bikin kamu jadi tidak bersyukur? Noooooooo. Jadi sambatlah di tempat yang benar. Gitu pokoknya yang pernah aku baca di buku.

Sudah ya, ladies.
Tetap semangat yaaa, tetap ceria dan keep your chin up!

Wassalamu'alaikum...


Monday, January 20, 2020

Menantu Baru Itu Orang Asing

Assalamu'alaikum, ladies!

So, how's your day? Sudah terbiasa belum dengan status barunya? I mean yang pada baru saja menikah lho ya. Karena dengan sebuah ikatan pernikahan, menjadikan kita punya status baru.

Status sebagai istri dari seorang suami. Sebagai menantu dari orang tuanya suami. Sebagai kakak atau adik dari saudarannya suami. Sebagai bagian dari keluarga besar suami.
Banyak ya..
Iya..

Oleh karena itu, di samping penyesuaian dengan suami kita, banyak juga drama yang tak kalah menarik cerita dan lika-likunya, yaitu penyesuaian dengan keluarganya. Yap! Ternyata lebih menegangkan menjadi orang baru yang masuk di keluarga baru. Lebih dari itu, bahkan terkadang bisa disebut sebagai asing. Bukan, bukan keluarga itu yang asing. Tapi kita yang asing. Kita, para menantu baru.
Yeah.. Semua menantu baru adalah orang asing. Awalnya.

Kita yang tadinya hanyalah seorang anak perempuan dari sebuah keluarga kecil, yang awalnya hanya seorang kakak atau adik dari saudara kita di rumah, mendadak menjadi milik seseorang. Tak cukup hanya menjadi milik seseorang, tapi kita juga dibawa ke hadapan semua keluarganya.

Dibiji..Dibiji.. Begitu kalau kata orang dulu. Ketika ada orang baru, tentu semua keluarga tanpa sadar menaruh perhatian lebih kepadanya. Hal ini kusadari jauh sebelum diriku sendiri menikah. Hanya menyadari kondisi itu, bukan berarti aku memposisikan bagaimana kalau diriku menempati posisi itu ya.
You catch my point, right?

But finally, here we go.
Semua dilema-dilema pranikah yang kukhawatirkan saat sebelum menikah akhirnya kualami satu persatu. Berbagai tahapan pernikahan mulai aku tapaki dengan perlahan. Butuh waktu yang tidak sedikit untuk mengenal seseorang yang sudah sah menjadi suamiku. Tapi tentu butuh waktu lebih banyak lagi untuk mengenal bahkan menyatu dengan keluarganya.

Ladies, ada tidak sih, dari kalian yang merasa ditinggal saat hari pertama diboyong ke rumah suami dan keluarganya?
Karena aku merasa demikian. Aku sempat berpikir bisa-bisanya keluargaku meninggalkanku begitu saja di rumah ini, di rumah yang mana aku tidak dekat dengan siapapun di sini. Even suamiku saja aku belum merasa cukup dekat. Bagaimana bisa? Padahal keluargaku sangat paham sekali bahwa aku orangnya sangat tertutup dan tidak mudah merasa nyaman berada di lingkungan baru dengan orang-orang yang baru pula.

Tapi mungkin caranya memang begitu ya.
Aku bisa apa.

Setelah keluargaku pergi meninggalkanku (maksudnya boyongan yaaa, bukan ditinggal karena bukan dianggap anaknya lagi), aku tiba-tiba merasa benar-benar sendiri. Suamiku menggenggam tanganku, mungkin agar orang tuaku melihatnya dan merasa tenang. Tapi aku yang tidak tenang. >,<

Oh My God, I can't...
Waktu terasa saaaaaaaaaaaaangat panjang dan setiap detiknya terasa lama. Aku mencoba santai, tapi tidak bisa. Aku mengantuk tapi tidak bisa tidur. Aku lapar tapi tidak nafsu makan. Aku pusing dan lelah tapi lupa caranya istirahat. Hati dan pikiran, bahkan fisikku semuaaaaaaaanya lelah. Bukan lelah karena tidak ada waktu dan tempat istirahat, bukan. Tapi lelah karena tegang dan terjaga.
I am not myself.. I am not fine..

Beberapa hari berlalu sejak hari pernikahan membuat aku mulai merasa aman berada di dekat suamiku. Benar juga, bagaimana suami memperlakukan kita di hari-hari awal pernikahan ternyata sangat menentukan progress kedekatan kita. Memang tidak terburu-buru, tapi beruntung sekali karena suamiku cukup komunikatif jadi mudah bagiku untuk mengikuti polanya. Sehingga, yah, aku yang pada awalnya sering merasa insecure, perlahan fisik dan batinku mulai menerima bahkan mulai terbiasa dengan keberadaannya.

Tapi kan setelah itu LDR?
Iya, LDR itu yang membuat aku dan suami jauh-jauhan. Tapi karena sebelumnya progress kedekatan kami baik, jadi LDR-nya bisa ditahan sedikit. Masalah kalau ternyata lama-lama jadi agak berat ya berarti harus ketemu dulu. Ya keadaan kita, kita sendiri yang harus mencari tahu polanya. Dicari bagaimana pola terbaik agar tidak terlalu banyak yang dikorbankan, tapi juga tidak memaksa keadaan.

Itu kan progress suami dan istri. Bagaimana progress mertua dan menantu?
Mungkin ini lebih complicated untuk dicari polanya. Karena tidak semua orang tua itu sama dengan orang tua kita. Begitu awalnya jalanku berpikir. Bagaimana cara agar aku diakui? Bagaimana cara agar aku terlihat baik? Bagaimana cara agar aku bijine apik? Bagaimana cara agar aku nggak malu-maluin? Bagaimana agar ini.. Bagaimana agar itu.. Begitu terus yang ada di pikiran. Karena biar bagaimana pun juga, tidak ada menantu yang tidak ingin dianggap ora nambahi opo-opo.

Iya to? Ngoten to?
 
Tapi perlahan aku mencoba mengubah cara berpikirku. Tidak, bukan cara berpikir sih, tapi lebih kepada action-nya. Semua orang tua tentu menyayangi anak-anaknya. Orang tua pernah muda, tapi kita yang muda belum tahu bagaimana jadi orang tua. Jadi, orang tua pasti lebih bisa mengatasi berbagai karakter anak. Begitu pula dengan karakter anak sepertiku.

Ada sedikit cerita... Hari pertama, hari kedua, hari ketiga sejak hari boyongan berlalu. Dengan egois aku masih berharap suami dan keluarga bisa memaklumi aku yang masih serba pasif ini. Tidak tahu apa-apa. Bahkan saat suami kelelahan pun, aku tidak tahu harus bagaimana dan dimana aku bisa membuatkan satu gelas teh hangat. Mungkin aku tahu dimana dapurnya, tapi kan aku tidak tahu dimana teh dan gulanya?
Jadi aku memutuskan untuk hanya menemaninya saja. Sejatinya aku cemas, bahkan wirid ba'da sholat-ku bersambung dengan beberapa doa untuk membantunya merasa lebih baik. Aku bahkan tidak mengindahkan rasa lelah dan pusing yang sedari tadi juga ngublek-ngublek isi kepalaku. Tidak lama kemudian, aku merasa lebih baik saat akhirnya ibu mertua membawakan segelas teh hangat untuk suamiku.

Jujur, aku berterima kasih atas datangnya satu gelas teh hangat itu yang membantu meringankan sedikit rasa bersalahku dan rasa frustasiku karena tidak bisa membuatnya sendiri untuk suamiku.

Dan sekali lagi, aku berharap suami dan mertua sama-sama memaklumi betapa pasifnya aku. Harapan yang apalah-apalah ini.

It's okay kalau dengan orang tua sendiri, selama ini aku biasanya pasif. Hanya aktif di saat aku merasa mampu atau yakin dengan sesuatu. Yeah I'm really that kind of girl. Iya, ngeselin dan ngrepotin emang. Tapi dengan orang tua suami alias mertua, masak iya aku juga pasif? Terus bagaimana mau dipandang baik?

Well, orang tua biasanya tidak menuntut banyak, tapi setiap anak pasti ingin membahagiakan orang tua-orang tuanya. Setiap anak punya kelebihan masing-masing dan punya caranya sendiri-sendiri untuk membuat orang tuanya bahagia dan bangga. Tapi saat kita dihadapkan dengan keluarga baru, bisa saja kelebihan yang kita banggakan tidak akan cukup. Minder, tidak percaya diri, tidak punya cukup keberanian, merasa sendiri, ada saja negative thoughts yang merusak niat baik kita. Padahal all we have to do is just... start.

Aku lupa. Semua hubungan itu tidak hanya satu arah. Hal yang paling dasar justru membuat diri nyaman dan harus membuka diri dengan semua lingkungan dan orang baru di keluarga baru. Dengan bekal rasa nyaman ini, ternyata sangat membantu untuk bisa berkomunikasi aktif dengan mertua. Beruntung, mertuaku saaaaaaaaangat ramah dan terbuka. Aku saja yang terlalu takut di awal. Hehehe. Aku lupa bahwa pada dasarnya semua orang tua ingin melihat anaknya bahagia. Mertua juga orang tua kita kok. Perkara sampai sekarang masih ada perasaan sedikit canggung dan tidak ingin terus-terusan merepotkan itu wajar. Ada waktunya. Ada prosesnya. Nikmati saja.

Selanjutnya yang tidak kalah dilematis adalah proses mengenal keluarga besar suami. Saat acara pernikahan dan boyongan, mungkin sudah menjadi langkah awal untuk kita berusaha mengenal. Tapi mengenal saja bukan berarti menjadi dekat kan? Mengenal saja mungkin ada beberapa nama atau wajah yang selanjutnya kita lupa lagi.

Karena terlalu banyak orang kan? Iya.

Itu karena kita hanya berusaha menghafal. Menghafal nama. Menghafal wajah. Menghafal itu berbeda dengan mengenal. Tidak sama. Hal itu baru kusadari saat ada acara keluarga. Ikut suami dan mertua ke acara keluarga itu berarti kita akan bertemu lagi dengan wajah dan nama yang mungkin pernah kita coba hafalkan di acara pernikahan kita. Karena bagi kita itu bagian dari usaha menjadi menantu yang baik, remember? hehehe. Tentu kita tidak ingin dianggap sebagai menantu yang ora ngerti sedulur. Iya kan?

I did it, actually. Berusaha menghafal nama dan wajah. Hasilnya? Hasilnya agak berantakan sih. Hahaha. Forgot that I am really bad at this thing. FYI keluarga ibu mertuaku semuanya awet muda! Kesalahan pertamaku adalah ada yang seharusnya kupanggil budhe tapi malah menjadi bulik. Tapi itu tidak apa-apa, tidak masalah. Perlu waktu, I guess?

Lalu ada juga waktu dimana aku ikut mertua ke acara keluarga lagi untuk kali kedua. Agak berbeda dengan kali terakhir, kali ini hanya aku dengan mertua, suamiku tidak ikut. Agak nervous apalagi setelah akhirnya berkumpul dengan anggota keluarga yang lain. Oh I miss my husband~ Betapa kakunya aku untuk mencoba membaur itu rasanya agak... membebani? Well, bukannya membebani juga sih, tapi lebih kepada rasa tidak puas. Aku kecewa dengan usahaku sendiri yang kurang elegan. Aku bertanya-tanya bagaimana dan apa yang dilakukan menantu-menantu pada umumnya sih? Aku merasa kurang... research, maybe?

Tapi tidak. Sekali lagi, ternyata aku salah. I was just thinking too much. Karena kalau dinikmati dan diperhatikan, sebenarnya semua orang ikut senang, ikut berbahagia, dan menyambut kedatangan kita para menantu baru dengan tangan terbuka. Bagaimana kita bisa mengenal semua orang itu kalau kita tidak menampakkan diri?
Soooooo di sinilah aku mulai berpikir, semakin kita sering bertemu, jalan bareng boleh juga, pokoknya dengan meningkatkan intensitas bertemu ternyata bisa lumayan membantu kita untuk menyesuaikan diri loh. Asal kitanya juga mencoba ikut membaur.

Yang sekarang masih agak mengganjal di hati, mungkin karena aku belum juga menemukan kelebihanku dan belum bisa fully following the rhytm. Jadi, tetep masih banyak waktu dimana aku masih juga pasif. Padahal kembali lagi, setiap anak ingin bisa melakukan banyak hal untuk orang tuanya. Begitu pula yang ingin kita lakukan untuk mertua kita. Karena mertua adalah orang tua kita juga. Dan mungkin, orang tua dan mertua juga sebenarnya tidak merasa direpotkan kok dengan apa yang mereka lakukan juga untuk kita. Again, we were just thinking too much. 

Padahal mungkin saja ada beberapa hal yang mungkin mertua kita bisa lebih memahami kebutuhan kita dibanding suami kita sendiri loh. Misalnya seperti dalam hal foto-foto di tempat hiburan atau wisata atau bahkan tempat biasa. Kebutuhanku akan hal semacam ini terkadang lebih dimengerti oleh ibu mertuaku di saat suamiku sendiri sometimes memandang kebutuhan ini sebagai kebutuhan yang apalah - apalah. 
Maklum, cowok-cowok biasanya memang begitu yaaaaa. Hehehe.

Yasudah.
Sampai di sini dulu sharing kita hari ini. Next time kita sharing lagi.

Salam!

Saturday, January 18, 2020

Satu Frekuensi

Assalamu'alaikum, wise reader! ^^

Ladies, sudah bersyukur belum hari ini? Alhamdulillah. 
Hari baru harus lebih banyak lagi yang bisa kita syukuri ya :) Life's Good. Seperti iklannya LG hehehe...

Tidak terasa ini sudah minggu ke-3 di awal tahun 2020. Actually kali ini ada banyak cerita yang ingin aku share di sini. Bisa banyak karena sebenarnya semuanya hanya beberapa penggalan cerita. Karenanya, kuharap beberapa penggalan cerita ini cukup bisa mewakili perasaanku akhir-akhir ini. Tapi ladies, kuharap perasaan kalian tidak campur aduk saat membaca ini, karena cerita ini bisa saja terlalu random untuk diceritakan semuanya sekaligus. Agak maksa.

Relax, I'll try my best for not making you hard to understand my story here. hehehe...

Sejak kecil, kupikir perempuan paling bahagia di dunia ini adalah perempuan yang menikah dengan laki-laki yang sangat ia cintai. Bahkan aku ingat saat aku kecil (kira-kira masih sekolah tingkat SD), ada yang iseng menanyaiku seperti apa laki-laki yang ingin aku nikahi kelak saat sudah dewasa. Dengan tanpa banyak pikir, aku hanya menjawab seadanya. 
"Laki-laki yang seperti bapak. Yang bisa masak." 

Kalau dipikir-pikir sekarang, aku masih tidak mengerti kenapa dulu aku menjawab seperti itu. Bahkan sekarang aku geleng-geleng dengan jawaban itu. Bisa masak? Kenapa dulu aku menjawab itu. Apakah itu artinya sejak kecil aku memang doyan makan kalik ya?

Tapi belakangan aku berpikir, mungkin itu juga karena setiap figur bapak adalah cinta pertama setiap anak perempuan. Ditambah sejak kecil aku juga lebih sering bersama bapak, terutama saat daya ingatku terus berkembang dan menciptakan kenangan dan memori untuk disimpan.

Tapi saat kemarin aku sendiri menikah. Benar-benar menikah. Bisa dikatakan aku menikah dengan seorang laki-laki yang tidak begitu aku kenal. Memang ada jeda waktu antara saat kami bertemu untuk pertama kalinya sampai akhirnya lamaran pernikahan itu datang. Tapi di waktu-waktu itu aku tidak berusaha mengenal lebih jauh, sejujurnya. Kenapa? Karena aku berusaha menciptakan jarak. Jarak aman agar aku sendiri tidak terlalu berharap. Jarak aman agar aku tidak menyukainya, apalagi menyukainya duluan. Jarak aman pula agar aku tidak terluka jika ternyata dia bukan jodohku.
Ingat, kita semua benci terluka.

Tapi aku menikahinya. Bahkan saat berias di depan kaca di hari pernikahanku, aku masih tidak tenang. Apakah aku benar-benar akan menikah? Dilema. Tapi itu wajar, katanya. Namaku belum juga dipanggil sampai akad ijab-sah itu pun selesai. Aku resmi dan sah jadi seorang istri. Baik di mata agama, maupun di mata hukum negara. Ketika aku dipanggil keluar dan mencium tangannya, akhirnya aku sadar. "Ah, ini jodohku. Imamku. Takdirku. Cintaku."
Lalu apa aku bahagia?
Ya, tentu saja. Bapak dan ibuku sudah berhasil menikahkanku dengan seorang laki-laki yang baik. Kenapa harus tidak bahagia? Tentu saja aku bahagia. Segala drama manten anyar sudah aku ceritakan di beberapa post sebelum-sebelum ini. Semuanya adalah beberapa pengalaman aku pribadi ditambah beberapa cerita-cerita dari teman-teman yang juga baru saja menikah. Semua pengalaman baik-buruk, usaha-usaha keras kita untuk mencintai dan dicintai, semua itu adalah pengalaman berharga untuk kita membina rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah. Aamiin. 

"Belum satu frekuensi," kalau kata Eyang Habibie. Karena belum satu frekuensi dengan pasangan kita, makanya belum ketemu cara yang pas. Penyesuaian demi penyesuaian kita lakukan. Bahkan aku pernah beberapa kali membuat suamiku kesal. Untuk ukuran seseorang yang jarang mengeluh dan tidak pernah marah, mungkin saat itu aku yang keterlaluan karena membuatnya kesal. Tapi suatu kali, pernah juga suamiku membuatku menangis. Aku pergi ke kamar agar tidak ketahuan tapi suamiku memelukku dari belakang dan membimbingku untuk duduk tenang dan membicarakan apa yang terjadi. Ya, semua itu adalah proses untuk menjadi satu frekuensi.

Tapi ladies, aku bertanya-tanya mungkinkah ada waktu kelak kita akan bisa benar-benar satu frekuensi dengan pasangan kita?  Karena semua orang itu berbeda, tidak sama. Bahkan anak kembar saja pasti ada bedanya. Lalu apakah sepasang suami istri bisa satu frekuensi? Bisakah? Dua orang yang sangat berbeda bisa jadi satu frekuensi hanya karena menjadi pasangan suami-istri? Yah... Kita belum tahu pasti jawabannya. Masih ada baaaaaaaanyak hal di depan yang harus kita lalui untuk mendapatkan jawabannya.

Masih banyak sekali.
Masih banyak yang harus kita lalui di depan. Apapun yang kita lalui sekarang ini adalah awalnya. Bukankah harusnya kita bersemangat? Karena apapun dan segala hal yang kita alami ini adalah yang pertama kali bagi kita. Lebih spesial lagi karena kita mengalaminya bersama orang spesial. Hehehe...

"Serba pertama!" Kalau kata orang mah.
Pertama kali ini dengan suami.
Pertama kali itu dengan suami.

Aku juga. Sebelum menikah, aku biasanya membatasi diri dengan beberapa hal menyenangkan seperti hiburan, belanja, pergi-pergi, dan sebagainya. Mungkin ini juga alasannya kenapa ada banyak hal baru kutemukan setelah menikah. Keterlaluan sih, jadi ketinggalan jaman, tapi tidak ada yang kusesalkan karena pertama aku mengalaminya justru bersama suami.

Mungkin pengalaman semacam ini akan sangat berharga kalau aku ceritakan kepada teman-teman yang tidak pernah pacaran. Karena setelah ia menikah, semuanya benar-benar akan serba pertama dan menjadi pengalaman yang saaaaangat berharga.

Tapi sayangnya, ada beberapa teman yang ternyata merasa berkecil hati, menganggap dirinya tidak menarik karena tidak punya pacar. Tapi yang lebih kusayangkan adalah ada juga beberapa teman yang mulai menganggap dirinya tidak menarik setelah orang lain mengejeknya yang tidak punya pacar. Well, you are fine, ladies. You are enough. And you are beautiful. Mungkin memang benar bahwa punya pacar itu enak, punya pacar itu jadi merasa dicintai, punya pacar itu jadi merasa aman. But don't hurt yourself with negative thoughts. Love yourself better, ladies.

Kalau sudah butuh status dicintai, ya udah nikah aja. Status terbaik itu sudah. hehehe...

Emang kalau sudah menikah bakal otomatis dicintai?
Hmmm merasa dicintai sih sudah,
tapi sudah dicintai betulan belum ya?
mungkin aku harus tanya dulu sama suamiku. hehehe.

Oh iya, ladies, suatu kali aku pernah bertanya-tanya. Menerima lebih banyak dari apa yang bisa kita berikan, apakah bisa dianggap sebagai hak? Sometimes I doubt myself. Kita yang minim dalam hal pengalaman cinta, tidak benar jika selalu pasif, bukan? Tapi tidak benar juga kalau kita terlalu aktif. Ya udah lah ya ikutin aja flow nya. 

Tapi ladies, entah kamu sependapat denganku atau tidak, tapi menurutku, setelah menikah justru kita harus selalu berusaha lebih keras untuk dicintai. Terlebih jika sebelumnya kamu tidak mencintai dia dan dia tidak mencintai kamu. Bisakah kalian tiba-tiba saling mencintai? Mungkin smiles, kisses and hugs cukup mewakili jawaban untuk pertanyaan ini. Tapi sungguh, Allah SWT dengan memberikan kita ikatan pernikahan dan segala aturannya sudah memberikan jalan dan petunjuk. Kita hanya harus berjalan mengikuti rambu-rambu rumah tangga dan berusaha menemukan jawabannya.

Well, It's okay. Segala warna-warni kehidupan pernikahan itu indah. Mencintai dan dicintai dengan halal dan setiap bagian daripadanya bernilai ibadah. MasyaAllah. Alhamdulillah. 

Sampai di sini dulu sharing kita hari ini. Kita kumpulkan cerita baru dulu untuk sharing berikutnya. hehehe.

Salam! ^^


Friday, January 17, 2020

When Life Gets Hard, Remember This

Assalamu'alaikum, Ladies :)

How's life? 
Hidup tidak melulu tentang kisah-kisah yang bahagia. Ada kalanya kita harus struggle sedikit. Harus menempuh beberapa kesulitan untuk mendapatkan sebuah kemudahan yang manis. 

Ada pepatah sebuah kerja keras akan menghasilkan hasil akhir yang jaaaaaaauh lebih manis ketimbang mendapatkan sesuatu secara gratis. Jadi, jika kerja keras kita sekarang belum juga membuahkan hasil yang manis, maka itu bukanlah akhirnya, kita harus sediiiiiikit lagi berusaha sehingga hasil yang manis itu akan sampai di depan mata kita.

Namun, jika bisa memilih, pasti banyak dari kita yang lebih suka mendapatkan apapun secara gratis. Kalau ada cara yang mudah, kenapa harus memilih jalan yang susah? Pasti begitu.
Ya.
Aku juga berpikir demikian.
Kenapa kita harus menempuh jalan yang sulit kalau jalan yang mudah itu ada?

Tapi, ladies, semua keadaan itu tidak ada yang tidak patut disyukuri. Bahkan dalam keadaan paling terpuruk pun, kita harus cepat-cepat mencari alasan untuk tetap bersyukur kepada Allah SWT. Kenapa? Karena jangan sampai di keadaan tersulit pun, kita masih berpikir untuk mempersulit keadaan kita sendiri.

Ingat, kita semua benci terluka.
Dan yang paling kita benci adalah... mengakui sendiri bahwa kita sedang terluka.

Hati kita masalahnya, ladies.
Hati kita ini mudah sekali berbolak-balik. 
Seperti yang aku rasakan sendiri saat menulis blog post ini. Beberapa menit yang lalu, aku merasa sedang berbahagia. Aku bahagia dan bersyukur karena bisa menikmati hari yang indah bersama banyak orang. Tetapi tiba-tiba ada kabar yang menjungkir-balikkan semangatku. Lalu seketika, aku merasa kecil, merasa sedih, merasa lemah. Bahkan setelah wirid ba'da sholat-ku selesai, aku tak bisa menahan diri untuk mengadu, untuk mengeluh, untuk mengutuk diri sendiri kepada Allah SWT.
And I cried, alone.

Yeah I was thinking that I was alone, and left behind. Tapi tidak, ladies.. We are not alone. Bahkan Allah SWT menjelaskan dengan jelas bahwa setiap kesulitan itu pasti ada kemudahan setelahnya.

Tiba-tiba aku teringat pesan ibuku. Ibuku berpesan agar tidak pernah berhenti bersyukur dan berpikir positif. Semua keadaan pasti ada baiknya, ada hikmahnya, ada keuntungannya. Bahkan di keadaan kita yang paling sulit pun, kita harus segera mencari-cari alasan untuk mensyukurinya. Selalu ada hal baik untuk disyukuri bahkan dalam keadaan kita yang paling sulit. 
"Jangan sampai kita suudzon sama Gusti Allah..."

Dan satu hal lagi yang beliau selalu ingatkan adalah...

"Kadang-kadang memang kita harus susah sedikit, tapi pokoknya harus cari cara biar kita tetep dapet pahala dari kesusahan kita. Gimana caranya? Ya dengan bersyukur."

Kata ibu kita akan sangat menyesal kalau kita mengalami keadaan yang sulit dan kita tidak dapat apa-apa dari kesulitan yang kita hadapi.

Jadi gimana pendapat kamu, ladies?
Sekali lagi kita tahu kita benci terluka. Tapi luka apapun yang kita alami sekarang, jangan sampai luka itu menghalangi kita untuk menghitung-hitung nikmat yang Allah SWT berikan kepada kita. Sebagai langkah awal untuk terus dan tetap bersyukur dalam keadaan apapun, cara ini lumayan bisa dikiatkan sebagai rutinitas baik setiap hari.
Jadi, sudah bersyukur belum hari ini?
Alhamdullillah :) :) :)

MY WEDDING ^^

MY WEDDING ^^