Monday, January 20, 2020

Menantu Baru Itu Orang Asing

Assalamu'alaikum, ladies!

So, how's your day? Sudah terbiasa belum dengan status barunya? I mean yang pada baru saja menikah lho ya. Karena dengan sebuah ikatan pernikahan, menjadikan kita punya status baru.

Status sebagai istri dari seorang suami. Sebagai menantu dari orang tuanya suami. Sebagai kakak atau adik dari saudarannya suami. Sebagai bagian dari keluarga besar suami.
Banyak ya..
Iya..

Oleh karena itu, di samping penyesuaian dengan suami kita, banyak juga drama yang tak kalah menarik cerita dan lika-likunya, yaitu penyesuaian dengan keluarganya. Yap! Ternyata lebih menegangkan menjadi orang baru yang masuk di keluarga baru. Lebih dari itu, bahkan terkadang bisa disebut sebagai asing. Bukan, bukan keluarga itu yang asing. Tapi kita yang asing. Kita, para menantu baru.
Yeah.. Semua menantu baru adalah orang asing. Awalnya.

Kita yang tadinya hanyalah seorang anak perempuan dari sebuah keluarga kecil, yang awalnya hanya seorang kakak atau adik dari saudara kita di rumah, mendadak menjadi milik seseorang. Tak cukup hanya menjadi milik seseorang, tapi kita juga dibawa ke hadapan semua keluarganya.

Dibiji..Dibiji.. Begitu kalau kata orang dulu. Ketika ada orang baru, tentu semua keluarga tanpa sadar menaruh perhatian lebih kepadanya. Hal ini kusadari jauh sebelum diriku sendiri menikah. Hanya menyadari kondisi itu, bukan berarti aku memposisikan bagaimana kalau diriku menempati posisi itu ya.
You catch my point, right?

But finally, here we go.
Semua dilema-dilema pranikah yang kukhawatirkan saat sebelum menikah akhirnya kualami satu persatu. Berbagai tahapan pernikahan mulai aku tapaki dengan perlahan. Butuh waktu yang tidak sedikit untuk mengenal seseorang yang sudah sah menjadi suamiku. Tapi tentu butuh waktu lebih banyak lagi untuk mengenal bahkan menyatu dengan keluarganya.

Ladies, ada tidak sih, dari kalian yang merasa ditinggal saat hari pertama diboyong ke rumah suami dan keluarganya?
Karena aku merasa demikian. Aku sempat berpikir bisa-bisanya keluargaku meninggalkanku begitu saja di rumah ini, di rumah yang mana aku tidak dekat dengan siapapun di sini. Even suamiku saja aku belum merasa cukup dekat. Bagaimana bisa? Padahal keluargaku sangat paham sekali bahwa aku orangnya sangat tertutup dan tidak mudah merasa nyaman berada di lingkungan baru dengan orang-orang yang baru pula.

Tapi mungkin caranya memang begitu ya.
Aku bisa apa.

Setelah keluargaku pergi meninggalkanku (maksudnya boyongan yaaa, bukan ditinggal karena bukan dianggap anaknya lagi), aku tiba-tiba merasa benar-benar sendiri. Suamiku menggenggam tanganku, mungkin agar orang tuaku melihatnya dan merasa tenang. Tapi aku yang tidak tenang. >,<

Oh My God, I can't...
Waktu terasa saaaaaaaaaaaaangat panjang dan setiap detiknya terasa lama. Aku mencoba santai, tapi tidak bisa. Aku mengantuk tapi tidak bisa tidur. Aku lapar tapi tidak nafsu makan. Aku pusing dan lelah tapi lupa caranya istirahat. Hati dan pikiran, bahkan fisikku semuaaaaaaaanya lelah. Bukan lelah karena tidak ada waktu dan tempat istirahat, bukan. Tapi lelah karena tegang dan terjaga.
I am not myself.. I am not fine..

Beberapa hari berlalu sejak hari pernikahan membuat aku mulai merasa aman berada di dekat suamiku. Benar juga, bagaimana suami memperlakukan kita di hari-hari awal pernikahan ternyata sangat menentukan progress kedekatan kita. Memang tidak terburu-buru, tapi beruntung sekali karena suamiku cukup komunikatif jadi mudah bagiku untuk mengikuti polanya. Sehingga, yah, aku yang pada awalnya sering merasa insecure, perlahan fisik dan batinku mulai menerima bahkan mulai terbiasa dengan keberadaannya.

Tapi kan setelah itu LDR?
Iya, LDR itu yang membuat aku dan suami jauh-jauhan. Tapi karena sebelumnya progress kedekatan kami baik, jadi LDR-nya bisa ditahan sedikit. Masalah kalau ternyata lama-lama jadi agak berat ya berarti harus ketemu dulu. Ya keadaan kita, kita sendiri yang harus mencari tahu polanya. Dicari bagaimana pola terbaik agar tidak terlalu banyak yang dikorbankan, tapi juga tidak memaksa keadaan.

Itu kan progress suami dan istri. Bagaimana progress mertua dan menantu?
Mungkin ini lebih complicated untuk dicari polanya. Karena tidak semua orang tua itu sama dengan orang tua kita. Begitu awalnya jalanku berpikir. Bagaimana cara agar aku diakui? Bagaimana cara agar aku terlihat baik? Bagaimana cara agar aku bijine apik? Bagaimana cara agar aku nggak malu-maluin? Bagaimana agar ini.. Bagaimana agar itu.. Begitu terus yang ada di pikiran. Karena biar bagaimana pun juga, tidak ada menantu yang tidak ingin dianggap ora nambahi opo-opo.

Iya to? Ngoten to?
 
Tapi perlahan aku mencoba mengubah cara berpikirku. Tidak, bukan cara berpikir sih, tapi lebih kepada action-nya. Semua orang tua tentu menyayangi anak-anaknya. Orang tua pernah muda, tapi kita yang muda belum tahu bagaimana jadi orang tua. Jadi, orang tua pasti lebih bisa mengatasi berbagai karakter anak. Begitu pula dengan karakter anak sepertiku.

Ada sedikit cerita... Hari pertama, hari kedua, hari ketiga sejak hari boyongan berlalu. Dengan egois aku masih berharap suami dan keluarga bisa memaklumi aku yang masih serba pasif ini. Tidak tahu apa-apa. Bahkan saat suami kelelahan pun, aku tidak tahu harus bagaimana dan dimana aku bisa membuatkan satu gelas teh hangat. Mungkin aku tahu dimana dapurnya, tapi kan aku tidak tahu dimana teh dan gulanya?
Jadi aku memutuskan untuk hanya menemaninya saja. Sejatinya aku cemas, bahkan wirid ba'da sholat-ku bersambung dengan beberapa doa untuk membantunya merasa lebih baik. Aku bahkan tidak mengindahkan rasa lelah dan pusing yang sedari tadi juga ngublek-ngublek isi kepalaku. Tidak lama kemudian, aku merasa lebih baik saat akhirnya ibu mertua membawakan segelas teh hangat untuk suamiku.

Jujur, aku berterima kasih atas datangnya satu gelas teh hangat itu yang membantu meringankan sedikit rasa bersalahku dan rasa frustasiku karena tidak bisa membuatnya sendiri untuk suamiku.

Dan sekali lagi, aku berharap suami dan mertua sama-sama memaklumi betapa pasifnya aku. Harapan yang apalah-apalah ini.

It's okay kalau dengan orang tua sendiri, selama ini aku biasanya pasif. Hanya aktif di saat aku merasa mampu atau yakin dengan sesuatu. Yeah I'm really that kind of girl. Iya, ngeselin dan ngrepotin emang. Tapi dengan orang tua suami alias mertua, masak iya aku juga pasif? Terus bagaimana mau dipandang baik?

Well, orang tua biasanya tidak menuntut banyak, tapi setiap anak pasti ingin membahagiakan orang tua-orang tuanya. Setiap anak punya kelebihan masing-masing dan punya caranya sendiri-sendiri untuk membuat orang tuanya bahagia dan bangga. Tapi saat kita dihadapkan dengan keluarga baru, bisa saja kelebihan yang kita banggakan tidak akan cukup. Minder, tidak percaya diri, tidak punya cukup keberanian, merasa sendiri, ada saja negative thoughts yang merusak niat baik kita. Padahal all we have to do is just... start.

Aku lupa. Semua hubungan itu tidak hanya satu arah. Hal yang paling dasar justru membuat diri nyaman dan harus membuka diri dengan semua lingkungan dan orang baru di keluarga baru. Dengan bekal rasa nyaman ini, ternyata sangat membantu untuk bisa berkomunikasi aktif dengan mertua. Beruntung, mertuaku saaaaaaaaangat ramah dan terbuka. Aku saja yang terlalu takut di awal. Hehehe. Aku lupa bahwa pada dasarnya semua orang tua ingin melihat anaknya bahagia. Mertua juga orang tua kita kok. Perkara sampai sekarang masih ada perasaan sedikit canggung dan tidak ingin terus-terusan merepotkan itu wajar. Ada waktunya. Ada prosesnya. Nikmati saja.

Selanjutnya yang tidak kalah dilematis adalah proses mengenal keluarga besar suami. Saat acara pernikahan dan boyongan, mungkin sudah menjadi langkah awal untuk kita berusaha mengenal. Tapi mengenal saja bukan berarti menjadi dekat kan? Mengenal saja mungkin ada beberapa nama atau wajah yang selanjutnya kita lupa lagi.

Karena terlalu banyak orang kan? Iya.

Itu karena kita hanya berusaha menghafal. Menghafal nama. Menghafal wajah. Menghafal itu berbeda dengan mengenal. Tidak sama. Hal itu baru kusadari saat ada acara keluarga. Ikut suami dan mertua ke acara keluarga itu berarti kita akan bertemu lagi dengan wajah dan nama yang mungkin pernah kita coba hafalkan di acara pernikahan kita. Karena bagi kita itu bagian dari usaha menjadi menantu yang baik, remember? hehehe. Tentu kita tidak ingin dianggap sebagai menantu yang ora ngerti sedulur. Iya kan?

I did it, actually. Berusaha menghafal nama dan wajah. Hasilnya? Hasilnya agak berantakan sih. Hahaha. Forgot that I am really bad at this thing. FYI keluarga ibu mertuaku semuanya awet muda! Kesalahan pertamaku adalah ada yang seharusnya kupanggil budhe tapi malah menjadi bulik. Tapi itu tidak apa-apa, tidak masalah. Perlu waktu, I guess?

Lalu ada juga waktu dimana aku ikut mertua ke acara keluarga lagi untuk kali kedua. Agak berbeda dengan kali terakhir, kali ini hanya aku dengan mertua, suamiku tidak ikut. Agak nervous apalagi setelah akhirnya berkumpul dengan anggota keluarga yang lain. Oh I miss my husband~ Betapa kakunya aku untuk mencoba membaur itu rasanya agak... membebani? Well, bukannya membebani juga sih, tapi lebih kepada rasa tidak puas. Aku kecewa dengan usahaku sendiri yang kurang elegan. Aku bertanya-tanya bagaimana dan apa yang dilakukan menantu-menantu pada umumnya sih? Aku merasa kurang... research, maybe?

Tapi tidak. Sekali lagi, ternyata aku salah. I was just thinking too much. Karena kalau dinikmati dan diperhatikan, sebenarnya semua orang ikut senang, ikut berbahagia, dan menyambut kedatangan kita para menantu baru dengan tangan terbuka. Bagaimana kita bisa mengenal semua orang itu kalau kita tidak menampakkan diri?
Soooooo di sinilah aku mulai berpikir, semakin kita sering bertemu, jalan bareng boleh juga, pokoknya dengan meningkatkan intensitas bertemu ternyata bisa lumayan membantu kita untuk menyesuaikan diri loh. Asal kitanya juga mencoba ikut membaur.

Yang sekarang masih agak mengganjal di hati, mungkin karena aku belum juga menemukan kelebihanku dan belum bisa fully following the rhytm. Jadi, tetep masih banyak waktu dimana aku masih juga pasif. Padahal kembali lagi, setiap anak ingin bisa melakukan banyak hal untuk orang tuanya. Begitu pula yang ingin kita lakukan untuk mertua kita. Karena mertua adalah orang tua kita juga. Dan mungkin, orang tua dan mertua juga sebenarnya tidak merasa direpotkan kok dengan apa yang mereka lakukan juga untuk kita. Again, we were just thinking too much. 

Padahal mungkin saja ada beberapa hal yang mungkin mertua kita bisa lebih memahami kebutuhan kita dibanding suami kita sendiri loh. Misalnya seperti dalam hal foto-foto di tempat hiburan atau wisata atau bahkan tempat biasa. Kebutuhanku akan hal semacam ini terkadang lebih dimengerti oleh ibu mertuaku di saat suamiku sendiri sometimes memandang kebutuhan ini sebagai kebutuhan yang apalah - apalah. 
Maklum, cowok-cowok biasanya memang begitu yaaaaa. Hehehe.

Yasudah.
Sampai di sini dulu sharing kita hari ini. Next time kita sharing lagi.

Salam!

No comments:

Post a Comment

MY WEDDING ^^

MY WEDDING ^^