Dalam
diam aku memperhatikan seseorang dengan sebatang rokok di sela jemarinya.
Pandangannya lurus seolah memikirkan sesuatu dengan kerasnya. Begitulah cara
mencari ide cemerlang versi Erlangga Rahardian,sosok kakak tingkat yang menyita
sebagian perhatianku sejak awal kami bertemu di suatu forum diskusi lingkup
jurusan. Menurutnya,ide cemerlang bisa terlahir spontan dari kenikmatan
menghisap rokok.
Belum
habis rokok itu dihisapnya,dia sudah membuangnya dan beranjak dari tempatnya.
Sepertinya buah pemikiran sudah berhasil ia tangkap. Aku masih memperhatikannya
lengkap dengan setiap langkah tegasnya. Setelah sosoknya hilang termakan sudut
jalan,aku memalingkan muka dari arahnya semula.
“Fika”
suara Bagas mengejutkanku. Aku tidak tau sejak kapan Bagas duduk di sampingku. Deretan
giginya yang rapi itu menyambutku dengan seribu makna yang tak bisa kutebak.
“menunggu hujan itu seperti menunggu keputusan apakah kita memilih move on atau
tidak” katanya sok puitis.
“apa?”
tanyaku tidak mengerti. Bersamaan dengan itu,aku menyadari sosok Erlangga baru
saja berjalan kembali melewatiku. Aku tertegun karena seolah-olah kami seperti
dua orang yang tidak saling mengenal. Walaupun aku juga tak benar-benar yakin
apakah dia masih mengingatku.
“Gini
Fik.. aku tau seseorang sedang menyita perhatianmu kan,tapi kamu nggak mau
beralih dari masa lalumu. Gimana bisa kamu move on,Fik?” Kata-katanya selalu
menyadarkanku dan membuatku tau apa yang tidak seharusnya kulakukan.
“Bagas,Erlangga
terlalu beku buat dicairin. Aku juga ragu jangan-jangan dia sudah lupa sama aku”
ungkapku terdengar seperti orang yang putus asa.
“kamu
tau dari mana? Kamu udah usaha apa?” ucapnya lagi. Aku hanya terdiam memikirkan
jawabannya. Apa yang sudah kulakukan? Aku hanya menilai seseorang dari
bagaimana tampaknya. Hujan yang semakin deras membimbingku menerbangkan
lamunanku dan jauh entah kemana. Aku terhentak seketika mengingat seseorang
yang menanyakan hubunganku dengan Erlangga. Tampaknya dia akan menjadi
seseorang yang berbahaya kalau saja aku terlihat dekat dengan Erlangga. Hah.
Aku menghela napas.
“Cuma
orang bodoh yang membiarkan kunci motornya jatuh” langkahku terhenti mendengar
suara Erlangga di belakangku. Dengan cepat aku membalik badanku.
Astaga,sosoknya dengan tegap berdiri sambil mengulurkan tangannya yang
menggenggam kunci motorku. Kuangkat tanganku menyambar kunci itu,tapi
ditariknya kembali tangannya. Entah apa maksudnya,aku hanya menatapnya tidak
percaya. Aku terlalu terkejut mendapatinya berbicara padaku. Seingatku kami
hanya pernah mengobrol saat forum diskusi dua bulan yang lalu. Kami berdua
saling berkenalan sebagai hubungan kakak tingkat dan adik tingkatnya dan
bercerita sedikit di luar topik forum. Mungkinkah dia masih mengingatku.
“ikut
aku” katanya sambil menarik tasku dan memaksaku ikut dengannya. Padahal aku
baru saja mencoba tersenyum. Apakah dia tidak tau bagaimana seharusnya
memperlakukan wanita?
Di
sinilah kami sekarang. Sudut koridor lantai 1 yang sepi. “kenapa kita…...”
belum selesai aku bicara,Erlangga sudah menyela kata-kataku.
“kamu
diapain sama Gatit?” dia bertanya seperti sedang marah. Aku mencoba mengingat
nama Gatit yang tidak begitu asing kedengarannya. Bingung menghiasi ekspresiku
begitu sadar Gatit adalah teman angkatan Erlangga yang akan menjadi ancaman pertamaku kalau aku terlihat
menyukai sosok Erlangga.
“nggak
kok,Kak Gatit cuma nasihatin aku” kataku bernada polos sambil menoleh ke
kiri-kanan. Aku tidak mau seseorang melihatku bersama Erlangga seperti ini. Erlangga tidak bertanya lagi selama sepuluh
detik setelah itu. Kami terdiam sebelum akhirnya dia membalikkan badannya dan
berjalan pergi. Aku hanya terheran-heran namun setelah tersadar kunci motorku
masih ada padanya aku mengejarnya.
“Kak,kuncinya”
kataku sambil berjalan cepat mengikutinya tapi dia tetap berjalan seolah tak
mendengar. Saat sebentar lagi aku hampir mencapai jaraknya,segerombolan orang
mengacaukan penglihatanku. Aku mencari-cari dimana Erlangga berada namun telalu banyak orang menghalangi pandanganku.
Kemudian aku menyadari sosok Gatit dan
teman-temannya rupanya mengintaiku. Aku berniat menghindar dari jangkauan mata
mereka. Namun sia. Gatit mencekal tanganku dan menarikku dengan paksa ke
samping toilet wanita. “kak,sakit” ucapku sambil mencoba melepaskan tangan dari
cekalan kuatnya.
“buat
apa kamu ngejar-ngejar Erlangga?” ucap Gatit langsung pada intinya. Aku hanya
menunduk sedikit takut. Gatit adalah kakak tingkat yang terlewat sadis. Gatit
memang selalu ada di sekitar Erlangga. Walaupun mereka tidak terlihat seperti dua
orang yang berpacaran,tapi Gatit sepertinya mencekal semua cewek yang ada tanda-tanda
positif ke sosok Erlangga itu.
“aku
cuma mau minta kunci motorku di Kak Erlangga” kataku sambil mengangkat kepalaku
dan mataku beradu dengan mata tajamnya. Sorotan matanya mengisyaratkan perasaan
yang sama sekali tidak enak.
“alasan”
katanya serentak. “kamu suka kan sama Erlangga?” tanyanya dengan nada tinggi.
Banyak orang mulai menyadari keadaan kami yang tak baik ini. Ancaman seakan
mengurungku. Aku pikir aku harus menjawab iya sekarang. Keberadaan Gatit tidak
bisa kujadikan alasan untuk aku menjawab tidak. Aku menelan ludah dan
membulatkan niat.
“iya.aku
suka banget sama Kak Erlangga” kataku dengan lantang. Aku hanya tidak percaya
Erlangga bukanlah orang pertama yang mendengar langsung pengakuan rasaku. Aku
melihat perubahan yang nyata dari wajahnya.
“Gatit”
suara Erlangga memecah ketegangan ini. Erlangga selalu muncul di sekitarku
tanpa kusadari.”pulang sana” kata Eerlangga pada Gatit. Erlangga langsung
menggandeng tanganku dan membawaku pergi dari hadapan Gatit. Sesuatu membuatku
penasaran di sini. Ekspresi Gatit melunak seketika. Tidak ada tanda-tanda
ancaman ataupun perlawanan darinya.
“pulang
sana” kata Erlangga padaku. Diserahkannya kunci motorku kepadaku.
Erlangga
mencari motornya dan menaikinya mendekat ke tempat motorku diparkir. Aku pun menyempatkan
bertanya dengan segera “tadi apa Kak Erlangga nggak dengar sesuatu?” tanyaku
dengan nada berharap. Aku berharap dia juga mendengar pengakuanku menyukainya
tadi.
“dengar
ya,aku berbuat sesuatu karena aku tau sesuatu” katanya sambil tersenyum. “Oya,jangan
pernah kekanakan menghadapi siapapun. Terlebih Gatit” ucapnya dingin tapi penuh
makna.
“oya,Kak
Gatit itu..” kataku dengan nada melemah.
“tenang
saja,sebenarnya dia itu adikku. Dia cuma ngetes kamu” ucapnya sambil berlalu
dan meninggalkan seribu rasa tertuang pada diriku. Lega kini berbalik menaungi
segala rasaku.
(dimuat di buletin SUPLEMEN FTI UII bulan April)
No comments:
Post a Comment