Showing posts with label fiksi. Show all posts
Showing posts with label fiksi. Show all posts

Saturday, June 10, 2017

a book like you



Today, I love it even more.
a book like you.

---

Setiap orang punya ceritanya sendiri.
Tentu saja. Seperti  perpustakaan ini, penuh berisi buku dengan berbagai macam genre dan cerita yang berbeda. Dari sampul luarnya saja, masing-masing memiliki kesannya sendiri-sendiri. Apalagi dalamnya. Yah, mengingat bahwa sampul sebuah buku memang didesain untuk menggambarkan karakter dan isi cerita dalam bukunya sih

Tapi ingat kan? Ada istilah Don't jugde a book by its cover. Yah terlepas dari tujuan bahwa istilah itu hanyalah sebuah perumpamaan agar kita tidak menilai sesuatu atau seseorang dari luarnya saja, tapi kuakui itu memang benar. Karena tak jarang aku merasa tertipu. Baik oleh sampul buku, maupun sampul seseorang.

Sampul seseorang? Haha. Maafkan aku, apa yang aku coba katakan adalah penampilan seseorang.


Seperti buku yang sekarang berada di tanganku ini. Sampul buku ini terlihat rumit, tak heran kalau awalnya aku berpikir bahwa cerita yang disajikan di dalamnya akan rumit dan penuh konflik. Namun siapa sangka? Setelah kubaca secara keseluruhan, ternyata buku ini memiliki cerita yang lebih renyah dari yang kubayangkan. Enteng dan sederhana. Membuatku suka, tanpa harus bertanya-tanya.

Buku-buku seperti itulah yang selalu mengingatkanku tentangmu. Kamu banget! Kamu yang dulu selalu terlihat calm dan plain, ternyata menyimpan banyak warna yang indah. Warna yang indah akan sia-sia kan kalau disimpan sendiri? Well, setidaknya sekarang kau sudah berbeda. Bedanya, sekarang ada aku. Ada aku yang kau bagi semua warna yang kau punya. Ada aku yang kau bawa ke zona nyaman yang kau jaga. Ada aku yang kau buat berbunga-bunga tanpa harus jatuh cinta.

Expectation. That's it.
Dalam memilih seseorang sebagai teman baru, bagiku sama seperti memilih sebuah buku untuk dibaca. Aku selalu menebak dan menerka-nerka dari luarnya, dan kau melihat detailnya. Walaupun kita berakhir bukan seperti yang kita rencanakan dulu, tapi ternyata kita adalah partner yang cocok, bukan?

See? We’re fallen for each other.
But hey, ayolah. Tidak perlu sungkan begitu. Toh aku sudah tahu aslinya kamu.

Di perpustakaan sebesar ini, kali itu adalah pertama kalinya aku tahu buku seperti apa yang sebenarnya kusukai. Beruntung, begitu banyak buku yang mirip dengan kamu di sini. Kebetulan yang menyenangkan bukan? Mengingat di sini pula pertama kali kita bertemu. dan saling berebut satu buku yang sama.

Ah, benar juga. Perpustakaan itu sama seperti toko buku. Tempat buku-buku saling bertemu dan menjadi keluarga di satu atap atau bahkan di satu rak yang sama. Tempat buku-buku berjejer rapi dan berharap ditemukan atau dibeli oleh pembaca yang menyukainya dan setia menantikan terbitannya.

Itu artinya, dari sekian banyak buku, kita bisa memilih buku yang mana untuk dibaca, yang akan membawa kita larut dalam alur yang diceritakan. Sebuah buku yang bisa membawamu kepada klimaks dan akhir yang emosional. Sebuah buku yang bisa menjadi teman dari kopi atau hot chocolate di atas mejamu.

---

Ah, tapi ingat,
Jangan tumpahkan kopi atau cokelat panasmu di atas bukumu.
Terimakasih sudah membaca.

Wednesday, April 5, 2017

Pelajaran dari Figuran




Mungkinkah bertemu denganmu adalah hukuman untukku?
senyum yang manis itu,
tiba-tiba terasa pahit
juga tatapan yang lembut itu,
tiba-tiba terasa menusuk
bahkan candaanmu yang selalu membuatku tersipu itu,
sekarang menjadi bisikan yang menyakitkan.
Tidak, mungkin aku salah
tidak masuk akal, bukan?
tidak masuk akal bahwa bertemu denganmu,
adalah sebuah hukuman.
mungkin aku salah.
mungkin saja..
mungkin...
Lalu bagian mana yang pantas disebut hukuman?
di saat hadiahnya adalah perpisahan denganmu,
di saat bagian terbaiknya adalah kepergianmu.
Ah, benar juga.
Kenangan itu adalah hukumanku,
hukuman kita.
tentu saja, karena aku bukan tuanmu,
karena semestinya,
kau adalah figuran dalam ceritaku.

Wednesday, March 16, 2016

Seseorang. (yang merepotkan)



Hari baru.
Dengan rutinitas yang sama.

Aku berjalan sendirian di pagi yang sibuk ini. Tidak, orang-orangnya lah yang sibuk. Begitu banyak derap kaki yang melangkah dengan cepatnya. Sebagian saja yang berjalan dengan santai, termasuk aku. Sepagi ini hanya satu hal yang kupikirkan. Aku ingin tidur. 

Sebenarnya tidak banyak juga hal yang kulakukan sepanjang malam tadi. Aku hanya terhanyut dalam beberapa tulisan yang harus kurevisi secepatnya. Tapi waktu selalu saja mendahuluiku dengan egois. Hingga akhirnya semua orang sudah terbangun, saat bahkan aku saja belum sempat memejamkan mata. Oh baiklah, jangan salahkan waktu. Salahkan saja aku.

Masih dengan langkah yang kelewat santai, aku mendengar sesuatu yangg tidak asing. Apakah seseorang baru saja menyebut namaku? Aku berhenti dan menoleh dengan hati-hati. Seorang pria tampan berdiri tak jauh dari posisiku. Sekali lagi ia membuka mulutnya. "Zahra bukan ya?" Aku hanya tersenyum, berusaha mengingat seseorang yang mungkin saja mengenalku di tengah kota ini, kota yang baru kutinggali dua pekan ini. Selang beberapa detik, aku mengingatnya. Astaga, bagaimana mungkin aku melupakanmu?

Ya, aku baru sadar pria tampan itu adalah kamu. Kamu yang selalu kurindukan. Kamu yang selalu kutunggu di setiap penantian. Bagaimana bisa begini? Aku hampir saja tidak mengenalimu. Aku hampir saja melupakanmu. Dan ini semua adalah salahmu.

Bagaimana bisa kau pergi begitu lama?
Aku ingat beberapa tahun lalu seorang gadis kecil menangis di depan pintu, terus menerus memanggil dan merapal namamu. Kau tahu siapa gadis kecil itu? Aku. Padahal kau, saat itu hanyalah anak laki-laki kecil yang selalu saja merepotkanku. Ah, kita berdua masih anak-anak waktu itu.
"Zahra bukan ya?" Kau bertanya sekali lagi. Aku harus berkata apa?

Orang berlalu lalang dalam jarak yang memisahkan kita. Perlahan sosokmu pun lenyap dalam keramaian. Aku menepuk kedua pipiku. Aku sedang berusaha untuk tidak peduli. Aku pun melanjutkan berjalan dengan langkah kakiku yang tak selebar langkah-langkah di sekitarku.
Tapi kenapa? Kenapa aku melangkah menuju dirimu? 
Oh, masih di situ kau rupanya. 
Kamu serius menungguku? Di tengah orang-orang ini? 
Ternyata kau masih sama saja, selalu merepotkanku.

-The End-

Saturday, December 13, 2014

Ingat, kau benci terluka.




Aku tidak ingin mempercayainya..
Tapi ini terlalu nyata, memaksaku untuk sadar..

Ada hal-hal yang manis, ada pula bagian pahitnya. Ada hal-hal yang berjalan sesuai rencana, ada pula yang tidak. Ada hal-hal yang bisa dipercaya, ada pula yang tidak masuk akal. Begitulah yang biasa kita sebut dengan istilah “kenyataan”. Untuk beberapa hal, terkadang tak mudah bagi kita untuk menerima kenyataan, walaupun itulah yang sebenarnya terjadi.

Aku terus bertanya padaku sendiri.
Setujukah kau bahwa ada kalanya menyembunyikan kenyataan adalah pilihan terbaik? Ketika kenyataan itu bisa melukaimu dan orang-orang yang mendukungmu. Ketika kenyataan itu bisa menyakiti harapan orang yang ingin kau lindungi. Ketika kau hanya perlu menyimpan dan menanggung sendiri agar orang itu tetap bahagia dan tidak tahu bahaya apa-apa.

Atau kau justru lebih memilih untuk mengatakan kenyataan itu? Kenyataan yang akan menyakiti seseorang dengan sekali begitu saja. Kenyataan yang akan membunuh harapan seseorang yang sangat ingin kau lindungi sepenuh hati. Kenyataan yang juga akan melukaimu karena melihat orang itu menangis dan menyalahkanmu karena mengatakannya.

Jadi, pada dasarnya kedua pilihan yang ada itu tetap saja melukaimu. Lalu, pilihan mana yang akan kau pilih? Saat kau sendiri sebenarnya begitu berat untuk mempercayainya. Akankah kau punya kekuatan untuk mengatakannya? Namun, apakah kau yakin punya kesempatan untuk mengatakan padanya? Apakah kau berani?

Terlepas dari semua itu, apa kau yakin dirimu akan baik-baik saja? Bukankah mengatasi diri sendiri adalah hal yang paling utama? Jadi, saat kau sendiri tak bisa menerima kenyataan itu, apakah kau tetap akan mempercayainya? 

Ingat, kau benci terluka.

Saturday, September 21, 2013

Bikin Cerita Lagi




Kau bilang siapa tadi namamu?

Juan? nama yang unik
Sama uniknya dengan karaktermu :)

Cerita kemarin adalah tentang bagaimana kau bertemu denganku pertama kalinya. Cerita hari ini pun masih tentang bagaimana kau bertemu denganku pertama kalinya. Sepertinya hari-hari besok pun akan selalu menceritakan bagaimana pertama kalinya kau bertemu denganku. Semua kesan selepas pertemuan tiada berubah. Semuanya manis, semanis pertemuan pertama kita. Oh,tentu saja. Ini karena ulahmu, Juan! :)

Ayolah Juan, serius kau tidak tau alasannya? Tentu saja karena kau selalu memperlakukanku seperti pertama kalinya kau bertemu denganku.. Kemarin saat secara tidak sengaja mata kita bertemu, kau menatapku dengan lembut bersamaan dengan lengkungan bibirmu yang segera membentuk senyuman. Kau yang masih mengobrol dengan orang di sebelahmu tiba-tiba berjalan ke arahku. Oh, tadinya kukira pertemuan kita hanya akan berhenti di senyumanmu itu saja. Kau membimbingku dengan melayangkan tanganmu dan menjabat tanganku. Aku saja tak sedikitpun berpikir kau akan menghampiriku seperti ini. Dan lihatlah, kau berhasil membuatku terkesima,Juan!

Ah, tadinya kupikir karena kemarin memang pertama kalinya kita bertemu di luar. Oh maksudku,, kita kan satu kantor,Juan. Ah,aku baru sadar aku terlalu sibuk dengan berkas-berkas yang selalu mengejarku dengan deadline yang menyita perhatianku di kantor. Mengalihkan perhatianku dari semua hal hidup di sekitarku.

"hai" katamu. Hari ini kita bertemu lagi di kantor. Ralat! kita di kantor yang sama dan kita bertemu setiap hari. Aku saja yang selalu melihat ke arahmu tidak lebih dari tiga detik.
Setelah pertemuan kita kemarin, hari ini sosokmu berhasil membuatku tersenyum dan melihatmu dengan lima detik tatapanku. hei ini kemajuan dua detik untukku! Kemudian aku kembali mengerjakan berkasku. Aku membiarkanmu berjalan kembali dengan setumpuk berkas milikmu yang juga akan menyita waktumu. Wow! ternyata berkas bagianmu lebih banyak dari bagianku. Kenapa kau begitu santai mendapatkannya sedangkan aku saja merasa berat menyelesaikan bagianku yang tidak seberapa dibanding milikmu.

"hai" kau menyapaku sekali lagi. Aku menoleh kepadamu yang sudah berdiri di samping meja kerjaku. Mataku menangkap senyuman terukir di bibirmu. Kau layangkan lagi tanganmu membimbingku untuk menjabat tanganmu. Astaga aku malu. Aku baru sadar akan tanganmu yang halus dan begitu hangat itu. Aku menunduk seketika karena enggan terlihat salah tingkah. Tatapan yang kau miliki itu lebih cocok kau berikan kepada seseorang yang lama sekali tak kau temui, Juan. Dan caramu menatapku tadi seperti seolah-olah kau baru melihatku pertama kalinya (lagi). Aku tersanjung dengan caramu. Caramu menatapku seperti setiap kau menatapku.. untuk yang pertama kalinya.
Itulah alasannya, Juan. Sebenarnya, cukup sesederhana itu .. :)

=====



Saturday, July 20, 2013

Cuplikan



Saat kau melihat anak kecil terjatuh dan menangis di jarak yang tak jauh darimu, apa yang akan kau lakukan? 
Jika kau peduli, tentu kau akan segera berlari ke arahnya untuk menolongnya,bukan? 

Tapi kau terlambat, 
karena langkah ibunya  justru lebih cepat mendahuluimu sampai ke tempatnya. 
Walaupun jarak ia dengan ibunya tak lebih dekat daripada dengan jarakmu. 

Lalu, apakah terpikirkan olehmu sesuatu hal? 
Tentang kasih seorang ibu.Yang bahkan ....




*cuplikan cerpen "Tak Bolehkah Aku Mencinta" - Faridatuz Zuhroh (Agustus 2011)

Saturday, May 11, 2013

Bikin Cerita


Dalam diam aku memperhatikan seseorang dengan sebatang rokok di sela jemarinya. Pandangannya lurus seolah memikirkan sesuatu dengan kerasnya. Begitulah cara mencari ide cemerlang versi Erlangga Rahardian,sosok kakak tingkat yang menyita sebagian perhatianku sejak awal kami bertemu di suatu forum diskusi lingkup jurusan. Menurutnya,ide cemerlang bisa terlahir spontan dari kenikmatan menghisap rokok.
Belum habis rokok itu dihisapnya,dia sudah membuangnya dan beranjak dari tempatnya. Sepertinya buah pemikiran sudah berhasil ia tangkap. Aku masih memperhatikannya lengkap dengan setiap langkah tegasnya. Setelah sosoknya hilang termakan sudut jalan,aku memalingkan muka dari arahnya semula.
“Fika” suara Bagas mengejutkanku. Aku tidak tau sejak kapan Bagas duduk di sampingku. Deretan giginya yang rapi itu menyambutku dengan seribu makna yang tak bisa kutebak. “Menunggu hujan itu seperti menunggu keputusan apakah kita memilih move on atau tidak” katanya sok puitis.
“Apa?” tanyaku tidak mengerti. Bersamaan dengan itu, aku menyadari sosok Erlangga baru saja berjalan kembali melewatiku. Aku tertegun karena seolah-olah kami seperti dua orang yang tidak saling mengenal. Walaupun aku juga tak benar-benar yakin apakah dia masih mengingatku.
“Gini Fik.. aku tau seseorang sedang menyita perhatianmu kan, tapi kamu nggak mau beralih dari masa lalumu. Gimana bisa kamu move on, Fik?” Kata-katanya selalu menyadarkanku dan membuatku tau apa yang tidak seharusnya kulakukan.
“Bagas, Erlangga terlalu beku buat dicairin. Aku juga ragu jangan-jangan dia sudah lupa sama aku” ungkapku terdengar seperti orang yang putus asa.
“Kamu tau dari mana? Kamu udah usaha apa?” ucapnya lagi. Aku hanya terdiam memikirkan jawabannya. Apa yang sudah kulakukan? Aku hanya menilai seseorang dari bagaimana tampaknya. Hujan yang semakin deras membimbingku menerbangkan lamunanku dan jauh entah kemana. Aku terhentak seketika mengingat seseorang yang menanyakan hubunganku dengan Erlangga. Tampaknya dia akan menjadi seseorang yang berbahaya kalau saja aku terlihat dekat dengan Erlangga. Hah. Aku menghela napas.
“Cuma orang bodoh yang membiarkan kunci motornya jatuh” langkahku terhenti mendengar suara Erlangga di belakangku. Dengan cepat aku membalik badanku. Astaga,sosoknya dengan tegap berdiri sambil mengulurkan tangannya yang menggenggam kunci motorku. Kuangkat tanganku menyambar kunci itu,tapi ditariknya kembali tangannya. Entah apa maksudnya,aku hanya menatapnya tidak percaya. Aku terlalu terkejut mendapatinya berbicara padaku. Seingatku kami hanya pernah mengobrol saat forum diskusi dua bulan yang lalu. Kami berdua saling berkenalan sebagai hubungan kakak tingkat dan adik tingkatnya dan bercerita sedikit di luar topik forum. Mungkinkah dia masih mengingatku.
“Ikut aku” katanya sambil menarik tasku dan memaksaku ikut dengannya. Padahal aku baru saja mencoba tersenyum. Apakah dia tidak tau bagaimana seharusnya memperlakukan wanita?
Di sinilah kami sekarang. Sudut koridor lantai 1 yang sepi. “Kenapa kita…...” belum selesai aku bicara, Erlangga sudah menyela kata-kataku.
“Kamu diapain sama Gatit?” dia bertanya seperti sedang marah. Aku mencoba mengingat nama Gatit yang tidak begitu asing kedengarannya. Bingung menghiasi ekspresiku begitu sadar Gatit adalah teman angkatan Erlangga yang akan  menjadi ancaman pertamaku kalau aku terlihat menyukai sosok Erlangga.
“Nggak kok, Kak Gatit cuma nasihatin aku” kataku bernada polos sambil menoleh ke kiri-kanan. Aku tidak mau seseorang melihatku bersama Erlangga seperti ini.  Erlangga tidak bertanya lagi selama sepuluh detik setelah itu. Kami terdiam sebelum akhirnya dia membalikkan badannya dan berjalan pergi. Aku hanya terheran-heran namun setelah tersadar kunci motorku masih ada padanya aku mengejarnya.
“Kak, kuncinya,” kataku sambil berjalan cepat mengikutinya tapi dia tetap berjalan seolah tak mendengar. Saat sebentar lagi aku hampir mencapai jaraknya, segerombolan orang mengacaukan penglihatanku. Aku mencari-cari dimana Erlangga berada namun  telalu banyak orang menghalangi pandanganku. Kemudian aku menyadari sosok Gatit  dan teman-temannya rupanya mengintaiku. Aku berniat menghindar dari jangkauan mata mereka. Namun sia. Gatit mencekal tanganku dan menarikku dengan paksa ke samping toilet wanita. “Kak, sakit,” ucapku sambil mencoba melepaskan tangan dari cekalan kuatnya.
Buat apa kamu ngejar-ngejar Erlangga?” ucap Gatit langsung pada intinya. Aku hanya menunduk sedikit takut. Gatit adalah kakak tingkat yang terlewat sadis. Gatit memang selalu ada di sekitar Erlangga. Walaupun mereka tidak terlihat seperti dua orang yang berpacaran, tapi Gatit sepertinya mencekal semua cewek yang ada tanda-tanda positif ke sosok Erlangga itu.
“Aku cuma mau minta kunci motorku di Kak Erlangga” kataku sambil mengangkat kepalaku dan mataku beradu dengan mata tajamnya. Sorotan matanya mengisyaratkan perasaan yang sama sekali tidak enak.
“Alasan” katanya serentak. “Kamu suka kan sama Erlangga?” tanyanya dengan nada tinggi. Banyak orang mulai menyadari keadaan kami yang tak baik ini. Ancaman seakan mengurungku. Aku pikir aku harus menjawab iya sekarang. Keberadaan Gatit tidak bisa kujadikan alasan untuk aku menjawab tidak. Aku menelan ludah dan membulatkan niat.
“Iya. Aku suka banget sama Kak Erlangga!” kataku dengan lantang. Aku hanya tidak percaya Erlangga bukanlah orang pertama yang mendengar langsung pengakuan rasaku. Aku melihat perubahan yang nyata dari wajahnya.
“Gatit” suara Erlangga memecah ketegangan ini. Erlangga selalu muncul di sekitarku tanpa kusadari. "Pulang sana!” kata Eerlangga pada Gatit. Erlangga langsung menggandeng tanganku dan membawaku pergi dari hadapan Gatit. Sesuatu membuatku penasaran di sini. Ekspresi Gatit melunak seketika. Tidak ada tanda-tanda ancaman ataupun perlawanan darinya.
“Pulang sana!” kata Erlangga padaku. Diserahkannya kunci motorku kepadaku.
Erlangga mencari motornya dan menaikinya mendekat ke tempat motorku diparkir. Aku pun menyempatkan bertanya dengan segera “Tadi apa Kak Erlangga dengar sesuatu?” tanyaku dengan nada berharap. Aku berharap dia juga mendengar pengakuanku menyukainya tadi.
“Dengar.  Aku berbuat seperti ini jelas karena aku tau sesuatu kan?” Katanya sambil tersenyum. “Oh ya, jangan pernah kekanakan menghadapi siapapun. Terlebih Gatit” ucapnya dingin tapi penuh makna.
“Oh ya, Kak Gatit itu..” kataku dengan nada melemah.
“Tenang saja, sebenarnya dia itu adikku. Dia cuma ngetes kamu” ucapnya sambil berlalu dan meninggalkan seribu rasa tertuang pada diriku. Lega kini berbalik menaungi segala rasaku. 

 (dimuat di buletin SUPLEMEN FTI UII bulan April)